-->

Gus tf Sakai: Mengarang dengan Mengatasi Tiga Hambatan

Bagaimanakah proses kreatif Anda mengarang? Barangkali, kalau pertanyaan ini diajukan kepada A.A. Navis, Budi Darma, Arswendo Atmowiloto, Wildan Yatim, Danarto, Putu Wijaya, Umar Kayam, Nh. Dini, atau yang lain, mereka akan segera bercerita panjang mengenai proses mengapa dan bagaimana ia mengarang (menulis sastra).[1] Tapi, tak demikian jika pertanyaan ini diajukan kepada Gus tf Sakai. Bagi Gus, pertanyaan ini terasa ganjil, bahkan mungkin sangat bodoh, dan karenanya --dengan sangat menyesal-- ia akan selalu menjawab: "Entah, mungkin tak ada ...". Sebab, katanya, ketika menjenguk ke dalam diri setiap kali mencipta, memeriksa bagaimana proses itu terjadi, selalu tak pernah bisa ia temukan, tak pernah bisa ia terangkan. Sebab, katanya, semuanya terjadi begitu tiba-tiba, ajaib, men-cengangkan. Satu letupan, dan tiba-tiba ia menjelma, ada. "Bagaimana mungkin saya bisa menjelaskan itu?" tanyanya.[2]
            Di satu sisi, jawaban dan atau alasan Gus itu boleh jadi membawa pengertian bahwa proses kreatif bagi Gus memang tak ada. Tetapi, di sisi lain, justru jawaban dan alasan itulah yang sesungguhnya menjadi dasar atau kata kunci proses kreatif Gus. Walau tak setuju dengan istilah "proses kreatif" dan kemudian menggantinya dengan istilah "cerita tentang pengalaman", disadari atau tidak, Gus sebe-narnya telah menjelaskan kepada kita tentang mengapa dan bagaimana ia (mencapai keber-hasilan dalam) mengarang. Lalu bagai-mana proses Gus mencapai keberhasilan (dalam mengarang) sehingga lahir sekian banyak puisi, cerpen, dan novel-novelnya? Jawabnya amat sederhana: "bila ia mampu mengatasi tiga hambatan". Tiga hambatan itu ialah berikut.
            Pertama, karangan akan macet bila saat mengarang ia terlalu terpaku pada bentuk penyajian yang telah ada. Artinya, bila sebelum mengarang ia terlebih dulu berpikir dan menimbang bentuk atau cara penyajian mana yang akan digunakan; apakah bentuk penyajian yang sangat terikat pada alur (plot) ataukah bentuk penyajian yang bertitik tolak pada penokohan (karakter); dapat dipastikan ia akan mengalami jalan buntu. Sebab, katanya, bila ia telah berpikir pada bentuk penyajian yang sudah ada, berarti ia telah terikat (mengikatkan diri) pada ketentuan yang sudah ada pada masing-masing bentuk itu. Keterikatan pada bentuk penyajian itulah yang justru membuat kema-cetan karena berbagai ketentuan yang sudah ada itu berbenturan dengan esensi proses kreatif yang mensyaratkan dirinya dalam keadaan terbuka.
            Kedua, karangan juga bakal macet bila saat mengarang ia terlalu percaya bahwa tokoh-tokoh yang hadir dalam karangannya karena ia ciptakan. Itu artinya segala tindakan dan segenap pikiran tokoh hanya mungkin dan dapat tercipta bila ia menginginkannya. Dan bila ia berpikir dan terlalu percaya bahwa "nyawa" dan "hidup" si tokoh dalam karangannya sepe-nuhnya bergantung di tangannya, tokoh-tokoh tersebut justru tidak akan bernyawa, tidak berkembang, bahkan tidak hidup. Sebab, menurutnya, tokoh-tokoh itu bukanlah dirinya; mereka adalah manusia yang memiliki watak sendiri-sendiri, yang mungkin sangat khas, yang berbeda dengan manusia-manusia lainnya. Maka, tak mungkinlah ia (Gus) yang hanya menjadi bagian kecil dari kehidupan ini mampu menentukan dan atau mengendalikan tokoh-tokoh (manusia-manusia) itu. Sebab, mereka (tokoh-tokoh itu) adalah bagian dari luasnya jagat yang multidimensi, yang penuh misteri, yang unik, dengan kebenaran-kebenarannya sen-diri pula. Dan ini akan lain, katanya, kalau ia menulis autobiografi. Sebab, dalam menulis autobiografi, penulis sepenuhnya menceritakan dirinya sendiri.
            Ketiga, karangan juga tak mungkin bakal selesai bila ketika akan mengarang ia berpikir karangannya harus mengandung atau membawa pesan moral tertentu. Itu artinya, bila pada suatu saat ia kebetulan memperoleh ide/gagasan dan kemudian ia harus berpikir tentang pesan moral apa yang harus disampaikan lewat karangannya, sudah dapat dipastikan karangan itu tidak akan terwujud. Sebab, katanya, karangan sastra bukanlah karangan agama, bukan pula karya filsafat, naskah pidato, atau risalah yang hanya memperlakukan "bahasa" tak lebih sebagai alat untuk menyampaikan pesan, rumusan, aturan, metode, atau dogma-dogma belaka. Lebih jelasnya, katanya, bahasa sastra bukanlah bahasa rumusan, pesan, aturan, diktum-diktum, atau dogma-dogma yang cenderung abstrak dan diskursif, sebab bahasa sastra lebih bersifat kongkret, eksperiensial, dan karenanya mem-bebaskan.
            Tiga hambatan itulah yang --menurut pengalaman Gus-- acapkali mengganggu dirinya dalam berproses kreatif mengarang. Kendati begitu, kalau sampai hari ini terbukti ia mampu dan berhasil melahirkan sekian banyak karya (2 kumpulan puisi, 3 kumpulan cerpen, dan 6 novel), hal itu berarti bahwa sampai hari ini pula ia mampu dan berhasil mengatasi tiga hambatan tersebut. Dan kalau ke depan Gus masih terus mampu mengatasi tiga hambatan itu, berarti Gus kelak juga akan terus bisa melahirkan karya-karya terbarunya. Meski demikian, Gus me-nyadari bahwa pada hakikatnya setiap orang berbeda dan memiliki pengalaman yang ber-beda-beda pula. Oleh karenanya, tiga hal di atas yang bagi Gus menjadi hambatan, sangat mungkin bagi orang (pengarang) lain tidak. Dan lagi, hambatan itu pun sangat relatif, sangat terikat oleh ruang dan waktu, sebab hambatan tertentu di waktu tertentu belum tentu menjadi hambatan di waktu lain.
            Lalu, bagaimana cara Gus mengatasi hambatan-hambatan itu? Untuk mengetahui hal ini kita dapat menyimak, antara lain, lewat penuturan Gus ketika ia hendak menulis cerpen Ulat dalam Sepatu (bacalah sekali lagi cerpen yang dikutip di depan). Menurutnya, dengan ketiadaan hambatan itulah yang membuat cer-pen itu lahir. Pada awalnya, Gus merasa bahwa hambatan kedua yang bakal menghadang penu-lisan cerpen itu. Sebab, ia sendiri yang pada saat itu melihat sebuah sepatu, butut, tergeletak, di suatu ruangan di Kantor Gubernur. Akan tetapi, ketika ia mencoba mengatasinya dengan "mem-berikan" sifat lugu dan terutama pandangan positif pada tokohnya (Khairul Safar, si seniman ukir), akhirnya cerita menjadi mengalir begitu saja dan tiba-tiba menjelma ada tanpa disa-darinya.
            Hanya saja, memang, selain melihat sepatu itu, ketika Gus tiba-tiba sadar akan menulis sebuah cerpen, ia juga ingat pada sebuah ungkapan yang memang telah lama menguasai dirinya saat itu (di sekitar tahun 1997 di masa Orde Baru) yang berbunyi "duri dalam daging". Ungkapan dan simbol-simbol itulah yang kemudian bermetamorfosis secara ajaib menjadi cerpen Ulat dalam Sepatu, di samping bermetamorfosis secara ajaib pula menjadi beberapa sajak yang diantologikan dalam buku Sangkar Daging (1997). Meski demikian, seperti diakuinya, semua itu (melihat sepatu dan berkelebatnya ungkapan duri dalam daging) hanyalah menjadi pemicu belaka, sebab jika "dunia" cerpen itu tidak ada dalam diri Gus jauh sebelumnya, mungkin sekali cerpen itu tak akan lahir.
            Demikian antara lain proses kreatif atau cerita tentang pengalaman Gus dalam menga-rang. Nah, pertanyaannya sekarang, akan ber-tahan atau berubahkah cerita tentang penga-laman itu, katakanlah, dalam sepuluh atau dua puluh tahun lagi? Tetapi, baiklah, berubah atau tidak, bagi Gus (juga bagi kita) bukanlah menjadi hal yang penting. Sebab, semua itu telah menjadi bagian dari proses kreatifnya dalam menulis karya sastra. Yang lebih penting ialah bahwa proses dan pengalaman Gus bagai-manapun telah menjadi pengalaman menarik yang barangkali dapat menambah wawasan kita (terutama pengarang, lebih-lebih pemula).
            Akhirnya, satu hal yang pantas dicatat dari Gus ialah bahwa ia menentukan pilihan pada dunia sastra tak lain karena sastra memiliki kemampuan dalam melintas. Sastra bisa mem-pertemukan manusia yang berlainan suku, agama, ras, dan sebagainya, juga karena ke-mampuannya dalam melintas. Begitu juga ia mempertemukan beragam bidang, seperti sains, psikologi, dan filsafat karena kemampuannya dalam melintas. Sebab, seperti dikatakannya dalam Pidato Penerimaan SEA Write Award 2004, hanya dengan kemampuannya melintaslah sastra mampu menciptakan sebuah dunia yang di dalamnya kita bisa mempertanyakan kembali keberadaan kita (sebagai manusia). ***


[1] Mengenai hal ini dapat dibaca buku Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (2 jilid) susunan Pamusuk Eneste (Gramedia, 1984) dan juga buku Dua Puluh Sastrawan Bicara susunan Dewan Kesenian Jakarta (Sinar Harapan, 1984).
[2] Hal (jawaban) ini dikatakan dalam sebuah tulisannya yang disampaikan pada Workshop Cerpen Festival Kreativitas Pemuda yang diselenggarakan oleh Direktorat Kepemudaan Ditjen PKSP bekerja sama dengan Creative Writing Institut, 30 September--3 Oktober 2003.
Dimuat di Horison/ Kakilangit 135/Maret 2008

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Antologi Artikel (5) Artikel Jurnal Internasional (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Artikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel