-->

Pertumbuhan Ekonomi dan Kualitas Hidup yang Masih Rendah

            Satu hal yang mengganggu pikiran kita ialah bahwa saat ini masih terjadi ketidakseimbangan antara lajunya pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup manusia. Di satu sisi pertumbuhan ekonomi Indonesia begitu tinggi, tetapi di sisi lain kualitas hidup kita masih rendah. Menurut hasil penelitian UNDP (United Nations Development Programme), indeks pembangunan manusia (human development index) Indonesia menem-pati urutan ke-104 dari 174 negara yang diteliti. Ini menunjukkan bahwa dari segi kualitas, manusia Indonesia tertinggal  jauh dari negara-negara lain di dunia.
            Simpulan UNDP itu ternyata diperkuat oleh hasil penelitian Biro Pusat Statistik (BPS) terhadap kualitas hidup manusia di 27 propinsi di Indonesia. Berdasarkan data tahun 1990--1993, yang diukur dengan parameter tingkat pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat, BPS berkesimpulan bahwa yang memperoleh indeks prestasi tertinggi dalam hal pembangunan manusia adalah DKI Jakarta. Namun, prestasi tertinggi itu belum dapat dijadikan ukuran tingginya kualitas hidup bangsa Indonesia, karena skor IPM (indeks pembangunan manusia)  yang diperoleh DKI hanya mencapai angka 57; sementara nilai tertinggi IPM yang ditentukan adalah 100. Atas dasar itu dapat dinyatakan bahwa kualitas hidup manusia Indonesia  berada “di bawah” sebagian besar negara-negara lain. Hal ini diperkuat oleh nilai IPM di 27 propinsi yang hanya berkisar antara 36 (Timor Timor) hingga  57 (DKI Jakarta) (Kompas, 17/4).
            Rendahnya kualitas hidup manusia Indonesia memang terasa aneh. Keanehan terjadi karena dilihat dari perkembangan ekonominya Indonesia termasuk salah satu dari 8 negara Asia yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang “ajaib”. Namun dari segi kualitas manusianya, Indonesia tidak sejajar dengan Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Malaysia. Ironisnya, Indonesia hanya berada sedikit di atas Pakistan dan India. Meskipun agak mengkhawatirkan, realitas ini dapatlah dipahami karena sejauh ini pembangunan di  Indonesia masih  diprioritaskan pada sektor ekonomi.
             Upaya penyetaraan dua sektor pembangunan itu sebenarnya sudah dilakukan  bersamaan dengan mencuatnya isu merosotnya kualitas manusia Indonesia beberapa pelita yang lalu. Upaya tersebut semakin dipertegas pada akhir PJP I. Itulah sebabnya, mulai PJP II sektor pembangunan  sumber daya manusia (SDM) dimasukkan sebagai agenda pokok pembangunan kita, di samping sektor ekonomi masih terus dipacu pertumbuhannya. Seiring dengan itu muncullah berbagai slogan dan gerakan seperti “kerja keras”, “pola hidup sederhana”, “tingkatkan semangat kerja”, “pupuk sikap kemandirian”, dan lain-lain sampai pada “gerakan disiplin nasional (GDN)”. 
            Berbagai himbauan dan gebrakan itu tampaknya disambut baik oleh segenap bangsa kita. Hal itu terbukti melalui munculnya berbagai macam proyek (pemerintah), organisasi, lembaga pendidikan, penelitian, swadaya masyarakat, pusat-pusat studi, forum kajian, dan sebagainya yang mencakupi bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, dan kemanusiaan yang semuanya diarahkan pada peningkatan kualitas SDM. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa hasil berbagai gebrakan itu belum seimbang dengan laju pertumbuhan ekonomi, apalagi saat ini dibentuk jaringan kerja sama ekonomi internasional seperti GATT, WTO, NAFTA, APEC, atau ASEM, yang berarti akan semakin memperkokoh posisi Indonesia dalam percaturan ekonomi dunia.
            Selain itu, sebenarnya pemerintah juga telah  “mengorbankan” dana (pinjaman) begitu besar demi peningkatan  pendidikan, kesehatan, peran wanita, program KB, perumahan rakyat, pemberantasan pengangguran, kemiskinan, dan sebagainya. Bahkan juga melakukan kerja sama antar-negara sebagaimana disepakati lewat deklarasi PBB.  Namun, usaha sema-cam itu  belum juga mampu menepis “mitos” tentang rendahnya kualitas hidup manusia Indonesia. Barangkali “mitos” ini akan tetap merebak jika sektor pembangunan SDM masih diperlakukan sebagai sektor “kerja sampingan”.
            Karena itu, sudah saatnya dilakukan restrukturasi dan “reparasi” terhadap berbagai pola pembangunan di Indonesia. Di satu sisi pola pembangunan SDM diarahkan, direncanakan, dan diberi prioritas utama (atau setidaknya sama) dengan pembangunan ekonomi; dan di sisi lain pola pembangunan ekonomi diarahkan pada tujuan peningkatan kualitas hidup manusia. Memang benar kualitas hidup manusia sangat ditentukan oleh aspek ekonomi, tetapi alangkah celaka jika dalam kondisi perekonomian yang makmur masih banyak orang merasa bodoh dan tak bisa menikmati kemakmurannya. Sangat ironis jika muncul ungkapan “kelaparan di tengah kekayaan sendiri”.

Peran Pendidikan
            Siapapun mengakui jika pendidikan, baik formal maupun nonformal, merupakan sektor utama pengembangan SDM. Melalui pendidikan akan lahir sejumlah tenaga  terdidik secara profesional. Tenaga terdidik yang profesional itulah yang kelak akan menguasai sektor kerja. Karenanya, sangat perlu pendidikan diprogramkan dan dilaksanakan secara profesional.
            Profesionalisasi pendidikan di Indonesia dirasakan sangat penting dan mendesak. Karena sektor kerja yang tercipta sebagai konsekuensi perkembangan ekonomi global akan menuntut kehadiran banyak tenaga  yang berkeahlian tinggi. Tenaga ahli ini pulalah yang diharapkan dapat bersaing atau menggantikan tenaga asing yang selama ini masih “menguasai” Indonesia.  Dengan begitu,  anggaran negara yang selama ini harus “mengalir keluar” untuk membayar mereka bisa ditekan secara optimal.  Pada gilirannya, dana hasil penekanan itu dapat digunakan untuk menutupi kekurangan sektor lain yang masih terabaikan.
            Usaha profesionalisasi terhadap pendidikan yang berorientasi masa depan memang tidak mudah direalisasikan. Selain diperlukan waktu yang cukup lama, tidak hanya 5 atau 10 tahun, juga dibutuhkan biaya sangat besar. Sekalipun demikian, reevaluasi, konversi, dan perombakan kembali atas program pendidikan di berbagai jenjang agaknya perlu segera dilakukan. Namun usaha itu harus disertai dengan upaya mengantisipasi berbagai ekses/dampak yang mungkin ditimbulkannya.
            Cobalah kita cermati adanya “kebijakan baru” tentang guru sekolah menengah yang harus berpendidikan minimal S-1. Ini juga akan menjadi problem tersendiri jika biaya pendidikannya harus mereka tanggung sendiri. Belum tentu mereka bersedia karena kondisi ekonomi para guru saat ini masih berada di bawah garis kelayakan. Konsekuensinya, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, perlu menyediakan sarana, prasarana, serta melipat gandakan anggaran pendidikan yang  saat ini jumlahnya masih relatif kecil itu.
            Betapapun sulitnya, upaya profesionalisasi pendidikan harus dipri-oritaskan karena genderang globalisasi telah berjalan. Karena itu amat bijaksana jika dalam waktu dekat Depdikbud bermaksud segera meng-konversi 10 IKIP menjadi universitas, karena relevansi dan fungsi IKIP dirasakan sudah berkurang. Dana pengkonverasian ini memang tidak kecil, tetapi beruntunglah pemerintah memperoleh pinjaman dari Bank Dunia sebesar 100 juta dollar AS, sehingga tahun mendatang dapat merealisasikan  3 universitas, satu di antaranya  dari IKIP Yogyakarta (KR, 17/4). 
            Lepas dari pro dan kontra, yang jelas langkah semacam itu amat tepat. Apalagi jika fakultas dan jurusan yang dibuka memiliki orientasi masa depan yang terfokus pada peningkatan kualitas hidup yang seimbang, baik secara ekonomis, mentalitas, maupun spiritualitas. Karena itu berbagai  pendukungnya perlu diupayakan secara memadai, baik kualitas pengajar, sistem pengajaran, sarana belajar, maupun fasilitas ilmiah lain seperti laboratorium, lembaga penelitian, forum ilmiah, dan sebagainya.
            Satu hal yang tak bisa diabaikan adalah sikap demokratis, adil, dan “membumi” sekaligus “melangit” dengan masyarakat. Sebab kampus lahir dari masyarakat dan hanya untuk kepentingan masyarakat. Karena itu harus dijauhi sikap exclusivism.

Pentingnya Penelitian
            Satu hal lagi yang dirasakan merisaukan adalah adanya “kebijakan” yang membolehkan mahasiswa tidak menulis skripsi. Di satu segi kebijakan ini menguntungkan, karena setelah memenuhi standar SKS mahasiswa cepat lulus sehingga mengurangi beban perguruan tinggi (PT) yang bersangkutan. Namun di segi lain timbul masalah serius ketika lulusan harus terjun ke masyarakat. Skripsi memang bukan satu-satunya tolok ukur kualitas mahasiswa, tetapi skripsilah yang “membuka pintu gerbang” mahasiswa untuk memasuki dunia realitas dalam masyarakat.
            Sebagai wujud aplikasi teori dan praktik, skripsi menumbuhkan sikap profesionalitas yang sesungguhnya. Sebab, melalui skripsi (penelitian) mahasiswa diuji untuk berpikir kritis, analitis, logis, berusaha menemukan “sesuatu yang baru” dan menuangkannya ke dalam bentuk karya ilmiah, dan diuji pula kesabaran dan ketabahannya, sehingga semua “ujian” itu kelak akan menjadi kebiasaan dalam kerja. Walaupun kebiasaan ini dapat diatasi dengan jalan lain, misalnya dengan penyusunan dan penyajian makalah, tetapi realitas membuktikan bahwa makalah tidak mampu menampung hasil “kerja besar” seperti kalau mahasiswa menyusun skripsi. Untuk itu, betapa penting arti skripsi bagi calon sarjana S-1, seperti halnya tesis dan disertasi bagi calon magister (S-2) dan doktor (S-3).
            Agar tercipta iklim yang kondusif dan optimal, sistem pengajaran dan penelitian yang selama ini ada di PT perlu dievaluasi dan disupervisi kembali. Sangat baik jika sistem pengajaran diarahkan pada peningkatan kemampuan praktik kerja, bukan kemampuan teoretis. Karena itu penekanan pada research di laboratorium atau di lapangan/masyarakat, yang hasilnya kemudian dituangkan dalam karya (tulis) ilmiah, sangat diperlukan. Namun ini juga perlu didukung oleh sistem pembimbingan yang profesional yang bebas dari problema kesibukan, ketiadaan fasilitas, atau kecilnya dana.
            Selain itu, “kebijakan baru” yang ditetapkan, di antaranya kebijakan “bebas skripsi” ini, hendaknya tidak hanya dilihat secara pragmatis dan eksperimentalis, tetapi juga harus diprediksikan sesuai dengan kebutuhan berbagai sektor. Ini merupakan keharusan agar tidak terjadi overlap dan overstep antara jumlah tenaga terdidik (skilled) dan pasaran kerja (work-market). Sangat aneh jika sebuah pabrik sudah dibangun tetapi tenaga ahli-nya belum ada, ini terbukti melalui banyaknya tenaga asing yang dida-tangkan ke Indonesia; atau sebaliknya, sarjana sudah “menumpuk” namun tak bisa kerja, dan ini tampak melalui banyaknya penganggur intelektual.
            Di sinilah pentingnya profesionalisasi pendidikan, pengajaran, dan penelitian di PT guna mengatasi ketidakseimbangan dua “problema besar” itu. Bagaimanapun, demi peningkatan kualitas hidup manusia, yang selama ini masih berada di bawah “garis kelayakan”, berbagai terobosan baru yang dilakukan, baik sosial, ekonomi, politik, budaya, dan sejenisnya, selalu diarahkan pada peningkatan SDM yang dibarengi dengan prinsip adil, seimbang, dan demokratis. Kiranya agak berlebihan jika akhir-akhir ini masih terjadi “pembungkaman” terhadap idealitas mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Semarang. *** 
     Dimuat KR, 29 April 1996.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Artikel Jurnal Internasional (4) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Artikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel