-->

Teori TAKMILAH: Cara Baru Pemahaman Sastra

        Kita tahu bahwa sejak awal tahun 70-an muncul kecenderungan baru dalam sastra Indonesia. Kalau sebelumnya berkiblat ke Barat, sejak dekade awal Orde Baru itu sastra kita mulai kembali ke akar tradisi. Kecenderungan ini mencapai puncak pada tahun 80-an yang ditandai semakin bertambahnya jumlah karya yang mengakomodasi beragam aspek lokalitas (mantra, mitos, spiritualitas, dll). Hal ini tidak lain disebabkan dunia kreativitas tak lagi dimonopoli oleh para pengarang kota, tapi juga pengarang desa dan kota kecil yang lebih dekat dengan budaya tradisi.
          Kecenderungan itulah yang kemudian menimbulkan kekhawatiran banyak ahli (teoretikus dan kritikus). Sebab, karya-karya sastra yang berkecenderungan baru itu diduga tak lagi bisa tuntas jika hanya dilihat dengan kacamata (teori) Barat. Maka, berkumpullah sejumlah pakar di Padang (Sumatra Barat) pada Maret 1988 dan mereka kemudian bersepakat hendak mencari (melahirkan) teori dan kritik yang relevan bagi sastra Indonesia. Tetapi, sampai kini tampak usaha itu belum membuahkan hasil. Terbukti, telah lebih dari 15 tahun belum satu pun lahir teori dan kritik yang relevan itu.
          Beberapa tahun lalu memang kita pernah mendengar istilah pasemon (Goenawan Mohammad) dan bangesgrengsem (Sapardi Djoko Damono). Kedua istilah itu nada-nadanya akan diarahkan pula sebagai sebuah cara baru pemahaman (cara analisis) sastra. Tetapi, ternyata, sampai sekarang belum seorang pun berhasil memformulasikan gagasan Goenawan dan Sapardi itu menjadi sebuah teori lengkap dengan perangkatnya (definisi, konsep dasar, metodologi, teknik aplikasi, dll).
          Di sinilah bedanya kita jika dibandingkan dengan pakar-pakar sastra Malaysia. Di samping tetap mendalami teori dan kritik sastra Barat, mereka juga mencoba melahirkan teori dan kritik sastra yang relevan dengan sastra mereka (Melayu). Contoh nyata adalah teori Takmilah. Teori ini baru digagas oleh Shafie Abu Bakar pada 1992 (empat tahun sesudah pertemuan Padang). Tetapi, teori Takmilah cepat mendapat tempat di hati para kritikus dan mereka saling menyempurnakan. Menurut catatan Mokhtar Hassan (2003), sampai dengan tahun 1999, telah ada 7 skripsi/tesis sarjana dan 2 disertasi doktor yang menerapkan teori Takmilah. Dan sebelumnya (1989), sebenarnya telah muncul teori Pengkaidahan Melayu hasil gagasan Dato’ Hashim Awang. Tetapi, teori Takmilah tampak lebih populer dibanding teori Pengkaidahan Melayu.
          Teori Takmilah agaknya memang khas. Teori itu berhubungan erat bahkan bersumber dari falsafah (Alquran) dan prinsip-prinsip dasar ke-Islam-an. Karenanya ia disebut Teori Sastra Islam. Menurut penggagasnya, mengkaji sastra dan kreativitasnya semata tanpa melibatkan prinsip-prinsip Islam tidak akan timbul apa yang dinamakan sastra Islam dan nilai-nilai Islam. Karena itu, mendekati sastra Islam mestilah bersifat syumul dan bertolak dari falsafah tauhid yang doktrinik. Itulah sebabnya, teori Takmilah dibangun setidaknya oleh tujuh prinsip yang bermuara pada kata kamal (sempurna).
          Pertama, prinsip ketuhanan yang bersifat sempurna (kamal).  Prinsip ini bertolak dari konsep bahwa keindahan merupakan manifestasi kesempurnaan Allah; jadi, dalam hal ini, segala sesuatu harus demi Allah yang sempurna. Kedua, prinsip kerasulan sebagai insan sempurna (kamil). Prinsip ini didasari oleh ketentuan bahwa sastra mestilah berperan meningkatkan kualitas keinsanan seperti yang diteladankan Rasullullah. Ketiga, prinsip keislaman yang bersifat paling sempurna (akmal). Prinsp ini berpijak pada konsep bahwa sastra berperan membentuk individu, masyarakat, dan umat yang mempraktikkan ke-syumul-an Islam; oleh karenanya sastra tak (boleh) bertentangan dengan akidah dan syariat Islam. Keempat, prinsip ilmu dan sastra yang saling menyempurnakan (takamul). Dalam prinsip ini sastra mesti harus meningkatkan kualitas akaliah (ilmu, rasional) dan rohaniah (jiwa dll).
          Kelima, prinsip sastra yang berciri estetik dan bersifat ke arah kesempurnaan (takmilah). Dalam prinsip ini, yang dilihat adalah keindahan lahiriah (teknik, bentuk, struktur, stilistik, dll) dan maknawi (pesan, tema, pandangan, dll). Keenam, prinsip pengarang yang harus menyempurnakan diri (istikmal). Yang penting dalam prinsip ini ialah bahwa kalau pengarang akan menciptakan sastra harus melengkapi diri dengan ilmu keislaman dan ilmu sastra. Ketujuh, prinsip khalayak (pembaca) ke arah insan sempurna (kamil). Prinsip ini berpedoman pada konsep bahwa hendaknya sastra memberikan pendidikan dan pengajaran (yang baik) kepada pembaca (khalayak, masyarakat).
          Begitulah tujuh prinsip yang membangun teori Takmilah. Istilah yang dipergunakan memang berbeda-beda (kamal, kamil, akmal, takamul, takmilah, istikmal, kamil), tetapi semua itu disaring dari kata kamal (sempurna) dan akhirnya dipilihlah istilah takmilah (menyempurnakan) sebagai nama teorinya. Dan karena teori ini diformulasikan berdasarkan prinsip-prinsip dasar Islam (Alquran dan Hadis), barangkali hanya sastra Islam yang paling cocok bagi penerapan teori Takmilah. Dan karena sastra Melayu di Malaysia didominasi oleh atau bahkan mungkin semua berunsur Islam, wajar kalau gagasan Takmilah segera dapat diterima sebagai teori dan mendapat banyak pengikut.
          Dan barangkali di sini pula bedanya dengan kondisi sastra Indonesia. Meski bahasa yang digunakannya serumpun (Melayu/Indonesia), sastra Indonesia relatif lebih beragam jika dibandingkan dengan sastra Melayu di Malaysia. Keberagaman ini terjadi karena Indonesia bersifat multietnis, ras, agama, budaya, tradisi, perilaku, dan sebagainya sehingga sastra Islam tak berkembang secara dominan. Tapi justru keberagaman itulah yang sekaligus menjadi keunggulan kita. Walaupun, akibatnya, tak mudah bagi pakar-pakar sastra Indonesia menggagas teori baru yang relevan bagi sastra Indonesia.
          Tapi, betapa pun, terlepas dari ketegangan-ketegangan politik yang sedang terjadi, tak ada salahnya pakar-pakar sastra Indonesia membangun tradisi berpikir seperti Malaysia. Kalau kita mencontoh atau belajar dari mereka mungkin akan tidak mengenakkan karena –jika dilihat sejarahnya--akan terjadi semacam flashback. Sebagian dari kita mungkin akan berkata bahwa daripada belajar dari Malaysia lebih baik langsung belajar dari Eropa, Amerika, atau Jepang karena memang negara-negara ini memiliki tradisi berpikir yang lebih tua dan kuat (mapan). ***
 Dimuat Kedaulatan Rakyat, 8 Mei 2005

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel