-->

FKY: Pesta Rakyat Yogya

       Tak lama lagi (7 Juni--7 Juli 2010) Yogya akan punya hajat: Festival Kesenian Yogyakarta (FKY). Kegiatan rutin tahunan itu (sejak 1989) kini telah memasuki usia yang ke-22. Ibarat seorang manusia, ia telah tumbuh dewasa dan bisa berbenah. Kita berharap FKY yang sejak awal digagas dengan idealisme dan semangat kebersamaan itu kelak berlangsung lancar dan lebih baik. Semoga lewat wahana seni (dalam FKY itu) akan terbangun harmoni dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat DIY.
          Saya yakin Pemda (Dinas Kebudayaan) telah mempersiapkan segala ubarampe-nya agar FKY sukses. Panitia yang dibentuk pun tentu telah menyusun strategi dan agendanya. Untuk mengantisipasi munculnya klaim atau kritik yang terjadi, konon Dinas Kebudayaan juga telah menyatukan suara lewat forum pertemuan para ketua FKY sebelumnya. Meski demikian, bagaimana pun, kritik terhadapnya tetap saja akan muncul. Sebab biasanya antara harapan (banyak orang) dan kemampuan (penyelenggara) tak pernah bisa klop. Tapi, saya kira hal itu lumrah dan wajar-wajar saja, bahkan itu justru menunjukkan di situ ada dinamika.
          Lewat tulisan ini saya tak akan mempersoalkan apa yang telah menjadi agenda FKY 2010. Apalagi, saya tak tahu persis apa agenda yang telah disiapkan. Saya hanya ingin menyoal istilah festival berkaitan dengan kegiatan yang sudah menjadi ikon dan kehadirannya selalu ditunggu oleh masyarakat DIY ini. Dan pemahaman istilah itu dirasa penting karena bisa jadi, kalau bersepakat, hal itu akan memberikan arah bagi orientasi penyelenggaraan kegiatan rutin tahunan tersebut.
         Menurut berbagai sumber, istilah festival berarti “hari atau pekan gembira dalam rangka peringatan peristiwa penting dan bersejarah”. Selain itu, festival juga berarti “pesta rakyat”. Merujuk pengertian itu jelas bahwa kegiatan festival, termasuk FKY, memfokuskan perhatian dan sasarannya pada publik. Artinya, kegiatan itu tak lain ditujukan kepada masyarakat luas, tanpa pandang bulu, sebab siapa pun punya hak sama. Sementara, ungkapan “hari atau pekan gembira” berarti dalam waktu tertentu (sehari, sepekan, sebulan, dst) kegiatan itu mengajak publik untuk bergembira; hal ini berarti orang atau masyarakat diminta melepas (barang sejenak) segala bentuk beban yang mungkin menimpa atau menghimpit kehidupan sehari-hari.
          Hal itu dipertegas oleh kata festival yang berarti “pesta rakyat”, suatu pesta yang di dalamnya tergambar adanya perilaku carnival. Menurut Bakhtin, carnival adalah perilaku yang mencoba memperlakukan “dunia” sebagai milik semua orang sehingga mereka (siapa pun yang menghuni “dunia” itu) dapat menjalin kontak atau dialog secara bebas, akrab, tanpa dihalangi tatanan, dogma, atau hierarki sosial. Perilaku semacam itu hanya mungkin terjadi dalam lokasi carnival, yaitu lokasi atau tempat-tempat umum yang memungkinkan semua orang bisa datang dan menikmatinya.
         Itu sebabnya, festival kesenian lebih tepat diartikan sebagai sebuah “pesta rakyat tentang kesenian” yang penyelenggaraannya di lokasi atau tempat-tempat umum; yang memperlakukan berbagai genre kesenian (lukis, sastra, drama, tari, pahat, rupa, ukir, musik, sungging, dll, baik tradisional maupun modern) sebagai subjek sekaligus objek perhatian; dan tolok ukurnya ialah dapat dihadiri dan dinikmati oleh siapa pun karena pada intinya kegiatan semacam itu mengajak semua orang untuk bergembira.
         Yang jadi pertanyaan sekarang, dalam kaitan dengan FKY, sudahkah konsep ”pesta rakyat tentang kesenian” itu terimplementasikan? Terus terang saya tidak tahu persis apa saja kegiatan yang bakal digelar FKY. Tetapi, sejarah mencatat, belum seluruh kegiatan FKY sebelumnya terarah pada bentuk “pesta rakyat”. Memang, beberapa kegiatan yang digelar telah memungkinkan semua orang bisa hadir dan menikmatinya, misalnya pentas seni (ketoprak, wayang, drama, tari, baca puisi, musik, dll), pameran dan bursa (lukis, kerajinan, foto, buku, dll), dan karnaval/arak-arakan (andong, becak, dll).
         Tetapi, tampak masih banyak agenda kegiatan FKY yang digelar secara eksklusif, hanya memungkinkan dihadiri kelompok tertentu, dan diselenggarakan di tempat non-carnival. Misalnya, seminar atau diskusi seni di perguruan tinggi atau instansi tertentu. Jelas kegiatan itu tak mencerminkan suatu pesta yang dimaksudkan untuk membangkitkan kegembiraan rakyat (publik). Lebih-lebih itu juga jauh dari harapan jika dikaitkan dengan upaya menarik minat publik untuk mengapresiasi karya seni atau menarik minat wisatawan terhadap hasil kreasi seni.
          Mestinya, seni dalam kegiatan festival bukan dikemas dalam bentuk diskusi/seminar, tetapi lebih terarah pada bentuk pertunjukan, pameran, atau sosialisasi seni (boleh juga perlombaan) kepada publik di tempat-tempat umum yang strategis (alun-alun, hotel, kompleks restoran, pusat perbelanjaan, arena pariwisata, dll). Sementara diskusi dan seminar ada forum dan waktunya sendiri, bukan diselenggarakan pada saat festival kesenian. Sebab kegiatan itu lebih berupa arena berpikir ketimbang arena penikmatan seni dan hiburan.
          Pertanyaan berikutnya adalah: sudahkah seluruh genre atau aspek seni terakomodasi ke dalam pesta rakyat Yogyakarta itu? Kita tahu di Yogya ada banyak padepokan (ketoprak, wayang, dagelan, dll), sanggar seni (lukis, patung, pahat, ukir, sungging, tari, kerajinan perak, keramik, dll), dan kantong-kantong seni (sastra, teater, macapatan, fotografi, dll) baik tingkat anak-anak, remaja, maupun dewasa yang siap tampil menyosialisasikan hasil kreasi seninya. Kalau semua terakomodasi, tentu tidak mungkin terjadi beberapa pihak yang merasa punya hak tetapi tidak dilibatkan.
       Hanya saja, itu memang tak mudah dilakukan. Sebab sarana dan infrastruktur pendukungnya harus kuat. Dan dana yang terbatas (bagi FKY) tentulah jauh dari cukup. Tapi, jika dilihat kepentingannya, utamanya bagi legitimasi identitas serta idealisme Yogya, tak ada salahnya jika porsi APBD digemukkan. Tentu ini mustahil jika tanpa ada program sinergis jangka pendek dan panjang yang disiapkan bersama Pemprov dan Pemkab/Pemkot. Tampaknya masalah program ini selalu jadi problem FKY: biasanya disusun mendadak sesuai dana yang ada, bukan dirancang secara matang, terukur, dan berkelanjutan.***
Dimuat MINGGU PAGI Minggu IV April 2010

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel