-->

Rafilus Budi Darma: Pengungkapan Misteri Takdir

Pada dasarnya sastra dapat menimbulkan rasa sakit, takjub, dan syahdu. Sastra menimbulkan rasa sakit karena pada kenyataannya kita sering melihat banyak sekali manusia yang aneh, gila, mementingkan dirinya sendiri, dan sia-sia dalam pergumulan untuk menentukan identitas dirinya. Sastra juga menimbulkan rasa takjub karena pada galibnya sastra menggambarkan manusia-manusia yang terlalu baik yang mungkin tidak terjangkau oleh kenyataan sehari-hari. Sastra juga menimbulkan rasa syahdu karena nostalgia pengarang adalah nostalgia yang tidak mungkin tercapai. Dan makin baik suatu karya sastra, makin banyak karya tersebut menimbulkan rasa sakit, takjub, dan syahdu. Makin baik suatu karya sastra, makin universal pula masalah yang diungkapkan di dalamnya (cinta kasih, ambisi, kebencian, kematian, kesepian, dan sebagainya).
            Demikian sinyalemen Budi Darma dalam bukunya Solilokui (Gramedia, 1983). Sinyalemen ini tidaklah terlalu berlebihan karena hampir seluruh karya sastra yang baik selalu mengungkapkan masalah-masalah yang kompleks seperti kompleksnya perpaduan rasa sakit, takjub, dan syahdu. Hanya sayangnya, kata Budi Darma, karya yang demikian di Indonesia belum banyak. Karya-karya yang ada pada umumnya hanya mengungkapkan salah satu dari tiga hal tersebut. Bahkan, apa yang diharapkan mengenai sastra yang seharusnya mengungkapkan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa tampaknya juga belum menjadi tradisi dalam penulisan sastra oleh pengarang-pengarang Indonesia.
            Konsep pemikiran di atas memang secara konsisten dibuktikan oleh Budi Darma dalam novel keduanya Rafilus (Balai Pustaka, 1988). Sebab, kalau kita amati lebih seksama, novel itu memang mengungkapkan suatu persoalan yang merupakan perpaduan dari rasa sakit, takjub, dan syahdu. Dikatakan demikian karena ambisi, angkara murka, dan keadaan masyarakat yang tidak beres begitu ditonjolkan sehingga kita seolah dibawa ke suatu situasi sosial yang di dalamnya penuh dengan manusia-manusia yang sakit jiwa. Selain itu, jiwa tokoh-tokoh yang aneh, menentang logika, jungkir balik, dan perilaku yang tidak waras juga digunakan untuk menguak sifat dasar manusia sehingga kita takjub dibuatnya. Sementara itu, dapat dirasakan pula adanya cerminan pengalaman pengarang tentang hidup dan kehidupan yang abstrak tetapi mendekati kebenaran sehingga perasaan syahdu pun muncul ke permukaan.
            Itulah keunikan novel Rafilus yang sarat dengan nuansa eksperimen pikiran dan perasaan sebagaimana tampak pula di dalam karya-karya sebelumnya (Olenka dan Orang-Orang Bloomington). Novel Rafilus bukan semata novel pikiran, melainkan melebihi batas rasional. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa jika ingin menjadi pengarang yang benar-benar pengarang, begitu kata Budi Darma, orang harus mampu memadukan man of action dan man of though (Darma, 1982). Menjadi pengarang yang baik harus bisa mengintegrasikan pikiran dan keterlibatan sehingga punya amunisi yang canggih, yakni bekal pengetahuan, pengalaman, dan keterlibatan. Amunisi, keprihatinan, dan kesadaran itu akhirnya akan menjadi semacam wawasan yang menyatu di dalam karya yang diciptakan.
            Andaikata membaca dengan seksama novel Rafilus, kita akan segera dikacaukan oleh pikiran-pikiran yang meloncat-loncat dari peristiwa unik yang satu ke peristiwa unik lainnya. Peristiwa yang dimunculkan itu semata datang dari abstraksi sebagaimana keabstraksian kehidupan manusia. Hal demikian tentu mengundang pertanyaan: mengapa musti abstraksi? Jawabnya haruslah diandaikan bahwa tujuan novel, seperti halnya tujuan kehidupan, hanyalah berupa lingkaran abstraksi yang terlalu sulit untuk diformulasikan dan dikonkretkan.
            Hal itulah yang menimbulkan siklus kehidupan menjadi dramatis, menjadi jungkir balik. Dan ternyata, dunia gambaran Budi Darma yang tidak beres itu dapat dirangkum menjadi sebuah dunia tersendiri, yaitu dunia dalam kata, dalam novel, walaupun hal itu tidak akan pernah selesai. Itulah sebabnya, mengapa Budi Darma selalu mengumandangkan sebuah keabstraksian hidup lewat peristiwa-peristiwa dan tindakan tokoh yang aneh dan mengejutkan. Hal seperti inilah yang disebut novel mengatasi pikiran, irasional, bahkan sampai pada takdir (Tuhan) yang eksistensinya sangat misterius. Memang, makna keutuhan dan totalitas novel ini berkait erat dengan upaya pengungkapan misteri sebuah takdir.
            Sebagaimana dikatakannya sendiri (dalam sebuah wawancara tertulis di Horison, Maret 1988) bahwa sebelum dan selama menulis, Budi Darma menyaksikan dan selanjutnya mempertanyakan: mengapa orang-orang yang berlaku baik, jujur, tidak mengumbar ambisi, nafsu, dan bersikap nrima justru mendapat musibah, bahkan tidak berumur panjang? Mengapa pula justru orang yang ambisius dan egois malahan mendapatkan rahmat, kelonggaran, dan umur panjang? Inilah misteri yang selamanya tak dapat diterjemahkan dengan logika. Mengenai hal ini, dalam novelnya Budi Darma menyatakan:
             “Siapa mereka, tidak ada gunanya dia mengatakan. Apa pun yang terjadi, dia tidak mempunyai wewenang untuk menggugat ketidakadilan. Dia tidak mempunyai hak untuk mempertanyakan mengapa orang-orang yang tidak mempunyai otak justru dapat mengatur hidupnya sesuai dengan seleranya” (hlm. 94).
Dalam menjawab pertanyaan tersebut kemudian Budi Darma menyatakan:
“Dengan kemauan untuk maju, ketidakbodohan dan kekerasan kerjanya, seharusnya ia mempunyai hak untuk memperoleh harkat lebih baik. Dia tidak mempunyai fasilitas lain kecuali melata, sebab takdir sudah menentukan demikian. Dan takdir tidak dapat diperdebatkan, sebab takdir tidak mempunyai keadilan dan timbang rasa” (hlm. 94). Ungkapan itulah yang disampaikan lewat tokoh Pawestri kepada Tiwar (si aku, narator) yang pada saat itu Tiwar sedang mengalami berbagai konflik dalam menghadapi bayang-bayang Rafilus.
            Hal-hal yang secara implisit mengungkapkan persoalan misteri kehidupan tersebut dapat dilacak lewat berbagai peristiwa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh, di antaranya tokoh Munandir, seorang upas pos. Kendati selama ini Munandir telah bekerja dengan rajin, tekun, dan keras, ia tetap tidak pernah memperoleh kebahagiaan karena ternyata semua hal yang dilakukannya selalu sial. Demikian juga kesialan Pawestri yang tidak pernah tercapai cita-citanya untuk mempunyai anak. Namun, sebaliknya, tokoh bernama Jumarub, seorang yang kaya raya dan dengan tipu dayanya selalu membuat orang lain hancur, atau si Van der Klooning dan Jan van Kraal yang tidak pernah jera menindas orang-orang kecil, malahan semakin jaya dan kaya, bahkan semakin terhormat.
            Hal lain yang perlu dicatat ialah bahwa berkat novel Rafilus kedudukan Budi Darma sebagai sastrawan yang punya gaya dan ciri khas semakin kokoh. Gaya dan ciri khas Budi Darma yang membedakannya dengan para pengarang lain adalah kegemarannya menampilkan tokoh-tokoh yang keras, kejam, tanpa perikemanusiaan tetapi jujur, dan memanfaatkan bahasa yang bernuansa keras, lepas dari eksotisme, dan penyajiannya yang sangat detail. Hal yang membedakannya dengan karya-karya sebelumnya adalah perspektif cerita dan, seperti diakuinya sendiri, bahwa sesungguhnya Rafilus adalah novel tentang penulisan novel.
            Mengapa bisa terjadi demikian? Jawabannya dapat ditelusuri melalui kesaksian tokoh Tiwar terhadap sosok Rafilus. Kesaksian itulah yang kemudian memerangkap pikiran dan otak Tiwar sehingga segala tingkah laku dan tindakannya selalu dibayangi oleh kehadiran Rafilus. Rafilus adalah seorang pengarang (novelis), dan untuk menelusuri bagaimana proses Rafilus mengarang, pikiran dan otak Tiwar terseret ke dalam proses itu sendiri. Oleh karena itu, di situ terjadi proses dua kali karena novel Rafilus mengungkapkan proses Rafilus mengarang novel yang berjudul Bambo.
            Demikian kesan terakhir ketika kita membaca Rafilus karya Budi Darma. Jika dilihat komposisi atau strukturnya, agaknya novel ini sedikit menyusahkan. Paling tidak, jika hendak mengungkap seluruh aspeknya, baik stilistik maupun tematiknya, mestilah kita berbekal pengetahuan yang cukup, tidak terkecuali pengetahuan tentang teori-teori (apresiasi) sastra. ***
Kedaulatan Rakyat, 27 November 1988.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Artikel Jurnal Internasional (4) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Artikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel