-->

Perjanjian dengan Setan Jajak MD: Cerpen Sastra ataukah Hiburan?


Dari sekian bentuk atau jenis (genre) sastra yang paling banyak dibaca orang adalah cerpen. Kegemaran orang membaca novel, puisi, dan atau naskah drama jelas lebih kecil dibandingkan dengan cerpen. Hal ini agaknya disebabkan oleh hampir setiap majalah atau surat kabar menyajikan cerpen. Bahkan orang yang bukan tergolong konsumen sastra pun banyak yang menikmati cerpen. Selain itu, cerpen kini memang tumbuh subur dan biasanya dapat dibaca di sembarang tempat dan dalam waktu singkat.
            Ada asumsi bahwa perbedaan cerpen sastra dan cerpen hiburan (populer) lebih dititikberatkan pada siapa dan bagaimana cara pembaca mengolahnya dalam pikiran dan perasaan. Barangkali asumsi itu benar. Sebab pembaca lebih bisa menentukan bagaimana harus membacanya. Bila pembaca bisa mengolah bacaannya (cerpen) dengan intens, dan dari hasil bacaannya itu diolah sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan hidupnya, maka tanpa memikirkan apakah cerpen itu sastra atau bukan, mereka telah mendapatkan sesuatu darinya. Dan “sesuatu” itulah yang mungkin menjadi tujuan sastra. Tetapi ada asumsi lain bahwa cerpen sastra berbeda dengan cerpen hiburan. Cerpen sastra lebih menukik ke kedalaman jiwa, sedangkan cerpen hiburan sekedar menghibur dan sebagai pelepas dahaga saja. Atau cerpen sastra memerlukan ketajaman penglihatan, sedangkan cerpen hiburan tidak memerlukan ketajaman pandang itu sebab cerpen hiburan atau populer hanya mengungkap hal yang elementer saja.
            Berpijak pada pernyataan tersebut marilah kita tengok cerpen-cerpen Jajak M.D. dalam kumpulan Perjanjian dengan Setan (Sinar Harapan, 1982). Oleh masyarakat sastra Indonesia, cerpen Jajak M.D. telah diakui sebagai cerpen sastra. Namun, apabila kita membaca dengan teliti, barangkali akan terjebak ke dalam pengertian “hiburan” itu tadi. Sebab, cerpen-cerpen dalam kumpulan ini tidak seluruhnya dapat digolongkan ke dalam cerpen sastra. Bahkan, anggapan sementara orang bahwa cerpen Jajak termasuk cerpen sastra agaknya perlu ditinjau kembali. Sebab cerpen-cerpen itu kurang menukik ke kedalaman jiwa. Bisa dikatakan bahwa cerpen-cerpen tersebut tidak menampilkan sesuatu yang jauh di dalam lubuk hati, tetapi hanya menampilkan hal yang elementer meskipun ke-elementer-an itu terkadang kita perlukan pula.
            Kita akui bahwa cerpen-cerpen Jajak M.D. menampilkan persoalan manusia yang amat dekat dengan kehidupan kita. Kedekatan persoalan itu dapat membangkitkan perasaan kita untuk lebih mengetahuinya lebih jauh. Tetapi, bila kita melihat dari satu sisi, tema-tema dan persoalannya memiliki kecenderungan tak lebih dari sekadar “menghibur” sebab pelukisan masalah-masalahnya hanyalah sederhana, atau bahkan beberapa pelukisan sketsa, atau mungkin pelukisan sesaat.
            Masalah problema keluarga dapat kita baca dalam cerpen "Perkembangan Terakhir", "Kuda Lumping", "Orang Serumah", dan "Beban Hari Tua". Dalam cerpen "Perkembangan Terakhir", misalnya, problem keluarga hanya dilukiskan sesaat dan hanya cenderung menghibur. Dikisahkan dalam cerpen itu bahwa tokoh "saya" sudah berusia 40 tahun namun belum berjodoh. Sementara Ibunya mendesak agar ia cepat kawin. Bahkan ibunya telah memilihkan calon menantu. Tetapi orang tua gadis itu (Ida) juga telah menentukan calon suami bagi anaknya, yakni calon yang kaya dan berpendidikan tinggi. Karena itulah, Ibu menyuruh "saya" agar melarikan gadis itu. Tetapi, ketika "saya" menentukan hari buat melarikan Ida, si calon mertua sedang melahirkan. Karena itulah, akhirnya niat itu tertunda. Akibat tertunda itu pula, Ibu "saya" jadi bingung dan gelisah. Melihat permasalahan yang ditampilkan demikian, tentu saja kita tidak mendapatkan sesuatu darinya kecuali hanya merasa terhibur saja.
            Di samping problem keluarga, Jajak juga menampilkan masalah kejahatan di sekitar kita. Misalnya dalam cerpen "Bandit Bandit", "Tatto Bunga Mawar", dan “Tamu Tengah Malam”. Membaca tiga cerpen ini rasanya kita hanya disuguhi persoalan yang sederhana saja, tidak membangkitkan emosi kita untuk berbuat yang semestinya. Sebab, dalam ketiga cerpen ini, seperti dikatakan tadi, hanya menampilkan pelukisan sesaat. Pelukisan sesaat itu, misalnya, dalam cerpen pertama, untuk menangkap bandit harus mempergunakan akal bandit. Dalam cerpen kedua dan ketiga juga demikian, tanpa disangka-sangka si pelaku kejahatan hanyalah adiknya sendiri.
            Sebagai orang Jawa, Jajak yang lahir di Magelang pada 11 Maret 1934 itu memang banyak mengisahkan pengalamannya sendiri. Terbukti, misalnya, dalam pengungkapan tema kerakusan manusia, ia mengambil lokasi di berbagai tempat di Yogyakarta. Tema kerakusan manusia itu terlihat dalam cerpen "Manajer-Manajer', "Rumah Itu", "Jakarta Merak", dan "Sebuah Percakapan". Dalam keempat cerpen itu para pelakunya (yang rakus) rata-rata alah para pimpinan. Justru para pimpinan itulah yang menjadi kunci perbuatan jahat dengan kedok orang lain. Mungkin, ini sebuah pengalaman nyata bagi Jajak MD. Sebab, bila kita telusur riwayat hidup Jajak yang sering berpindah-pindah kerja karena ulah pimpinannya, masuk akal jika itu merupakan kisah nyata. Dan itu pula yang mendorong penulisan cerpen yang bertema demikian.
            Di samping sebagai orang Jawa yang berhasil menampilkan masalah sosial yang dekat dengan kita, Jajak juga menampilkan budaya Jawa yang sudah mendarah daging, yaitu budaya pewayangan. Tema dan masalah yang diambil sebagai dasar penulisan cerpennya ialah sekitar Perang Baratayuda, Padepokan Dorna, dan Kerajaan Alengkadiraja. Hal ini terlihat dalam cerpen "Pertemuan Terakhir", "Sang Dorna", dan "Togog". Cerpen “Togog” agaknya hanya sekedar menampilkan humor belaka dan tidak mementingkan amanat bagi pembaca sebab tokoh Rahwana dan Togog hanyalah jelmaan arwah yang sedang meninjau bangunan kota Jakarta. Sedangkan kedua cerpen lainnya agak intens dalam menampilkan kisahnya.
            Tetapi, dalam ketiga cerpen yang menampilkan dunia wayang itu, apabila kita lihat dengan detail, kita hanya mendapatkan kisah yang telah ada. Seolah kita hanya memperoleh sketsa cerita lama, cerita basi, dan seterusnya, sebab kisah dalam cerpen "Pertempuran Terakhir" sudah kita ketahui melalui cerita Baratayuda dalam pewayangan, dan bagi kebanyakan orang itu semua barangkali bukan sesuatu yang baru. Kisah tentang Sang Kresna menyingkirkan Baladewa ke gerojogan sewu dalam perang Baratayuda juga sudah kita pahami. Begitu juga dalam cerpen "Sang Dorna" yang hanya merupakan sebuah pengungkapan kembali cerita lama tentang kesalahpahaman murid-murid Dorna, yakni Palgunadi dan Arjuna.
            Agaknya ada dua cerpen yang memiliki warna lain, yakni "Perjanjian dengan Setan" dan "Gelatik". Tetapi, cerpen “Gelatik” memberi kesan bahwa penampilannya serba kebetulan, bahkan sekedar main-main. Sebab di dalamnya hanya dikisahkan tentang orang yang suka meramal nasib orang lain. Dan setelah dipikir jauh ternyata ramalan itu tidak ada artinya sebab semua kehidupan sudah ada yang mengaturnya, yakni Tuhan. Meski hampir sama dengan cerpen "Gelatik", tapi tidak demikian penampilan dalam cerpen "Perjanjian dengan Setan". Sebab cerpen ini mengungkapkan masalah yang jelas dapat menyadarkan perbuatan orang yang sedang dilanda nafsu.
Dikisahkan bahwa orang yang dilanda nafsu itu ialah Darto Singo, yang hidupnya serba pas-pasan. Karena iri melihat orang lain kaya, maka ia ingin cepat kaya pula, dengan cara mencari pesugihan ke Gunung Srandil. Di gunung ini ia berjanji dengan setan akan mengorbankan diri setelah menjadi kaya. Bunyi perjanjian itu ialah: Ia bersedia memenuhi sebuah kaleng dengan bulu sapi setiap ia menyembelih lembu, setiap satu lembu satu bulu yang dimasukkannya. Namun, suatu ketika ia menjadi terkejut, sebab belum lama kaleng itu hampir penuh. Dan tentu ia curiga, karena itu suatu malam ia mengintip dan ternyata kaleng itu secara sembunyi-sembunyi diisi oleh orang lain yang iri akan menyaingi kekayaannya kelak. Karena tertangkapnya orang itulah akhirnya Darto Singo tidak percaya lagi pada janjinya dengan setan. Sekarang seluruh hidupnya diserahkan kepada Tuhan, bahwa orang bisa menjadi kaya karena berusaha. Itulah prinsipnya.
            Cerpen "Perjanjian dengan Setan" agaknya dapat kita anggap sebagai cerpen yang terbaik di antara semua cerpen dalam buku itu. Sebab masalah-masalah kepercayaan mistis, yang sebenarnya semua itu tidak logis, dapat terungkap dengan baik dan dapat menyadarkan orang dari perbuatan tercela. Inilah selintas tentang cerpen Jajak M.D. Dari semua uraian tadi, tentu kita bisa menentukan manakah yang sebenarnya tergolong cerpen sastra dan mana yang bukan sastra. Kalau boleh disimpulkan, dari semua cerpen itu yang  termasuk cerpen sastra hanyalah cerpen "Perjanjian dengan Setan". Sementara yang lain cerpen hiburan.***
                                                Kedaulatan Rakyat, 29 November 1987

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel