-->

Mohammad Diponegoro: Seorang Insinyur Cerpen yang Religius


Dalam kancah dunia penciptaan cerpen Indonesia, Mohammad Diponegoro memang kurang begitu populer, tidak seperti Danarto, Putu Wijaya, atau Umar Kayam. Namun, jika dilihat secara kuantitas, karya-karya cepen yang telah dipublikasikannya tidak kurang dari 266 buah, baik karya dari tangannya sendiri maupun karya hasil terjemahannya. Itulah sebabnya, beliau almarhum lebih dikenal sebagai seorang insinyur cerpen (istilah Taufiq Ismail, dalam pengantar Yuk,  Menulis Cerpen Yuk (Shalahuddin Press, 1985).
            Selain dikenal sebagai insinyur cerpen, ia lebih dikenal lagi berkat novelnya Siklus (Pustaka Jaya, 1975) dan dramanya Iblis (1961, diterbitkan tahun 1983 oleh Pustaka Panjimas), di samping aktif sebagai redaktur Suara Muhammadiyah dan pendiri teater Muslim di Yogyakarta. Satu keunggulan lagi yang dimiliki Mohammad Diponegoro adalah kemahirannya mempuitisasikan ayat-ayat suci Alquran, yang kemudian dihimpun bersama dengan karya Djamil Suherman dalam buku Kabar dari Langit (Penerbit Pustaka, Bandung, 1988). Data-data demikianlah yang membuat dirinya memiliki andil besar dalam peta kebudayaan dan kesenian Indonesia.

            Mengingat jasa-jasa kesenian almarhum (Mohammad Diponegoro meninggal pada 9 Mei 1982) sangat besar, terutama  karena ia adalah seorang muslim sejati, maka penerbit Shalahuddin Press, sebuah Lembaga Pengembangan Informasi Dakwah Islam, menerbitkan 14 cerpennya di bawah judul Odah dan Cerita Lainnya (1986). Melihat kepribadiannya yang begitu aktif di bidang keagamaan, sudah jelas bahwa cerpen-cerpen yang terhimpun dalam buku itu menyiratkan nuansa kemanusiaan yang tentu saja amat relijius. Namun, kita belum bisa berkata benar apabila kita belum  membaca dan menikmati karya-karyanya itu. Karena itu, marilah kita coba memahami nuansa-nuansa kehidupan yang religius itu lewat cerpen-cerpennya yang terhimpun dalam buku Odah ini.
            Sebagai seorang insinyur cerpen, Mohammad Diponegoro tampaknya memiliki nilai lebih dibandingkan dengan insinyur-insinyur lain di bidang lain. Mengapa demikian, karena ia tidak hanya mengabdi kepada salah satu bidang (tertentu) saja, melainkan beberapa bidang kehidupan berhasil dirangkum menjadi satu kebulatan yang multidimensional. Itulah nilai lebih yang dimilikinya, jadi tidak seperti insinyur-insinyur lain seperti insinyur pertanian, peternakan, atau listrik, yang sifatnya terkotak pada bidangnya masing-masing.
            Rangkuman berbagai bidang kehidupan yang berhasil diserap oleh Mohammad Diponegoro itu kiranya dapatlah kita lihat pada intensitas cerpen-cerpennya, misalnya adanya pengungkapan tema-tema yang beragam, baik tema moral, sosial, maupun religius. Sedangkan warna yang mendasari cerita adalah tidak jauh dari kehidupan kita sehari-hari, bahkan kita semua secara tidak langsung merasakannya. Karena ia termasuk tokoh perjuang kemerdekaan (pernah berpangkat Letnan Dua dan menjadi komandan seksi pada Resimen Ontowiryo Divisi III Yogyakarta tahun 1947-1948), maka warna yang mendasari ceritanya tidak lepas juga dari masalah-masalah perang.
       Kendati Mohammad Diponegoro menampilkan beragam tema dan masalah kehidupan dalam cerpennya, namun ia sadar betul bahwa semua itu hanyalah sebagai sarana pengungkapan belaka, yang lebih penting ialah  pengabdiannya kepada Yang Maha Tinggi. Karena itulah, seluruh cerpen dalam buku ini memiliki satu arah dan tema yang lebih besar, yakni menuju spiritualitas (Islami).
        Nuansa-nuansa kemanusiaan religius (melalui proses spiritualitas) yang dikemukakan Mohammad Diponegoro tampak jelas misalnya dalam cerpen "Alice", "Odah", "Istri Sang Medium", "Bubu Hantu", "Persetujuan dengan Tuhan", dan "Rumah Sebelah". Persoalan kemanusian yang sederhana namun optimis dalam cerpen "Alice" dapat dikenali dengan mudah, karena cerpen yang bersifat didaktik-pragmatis ini secara eksplisit ditujukan kepada pembaca agar pembaca senantiasa mempertahankan iman, bagaimana menghadapi cobaan dunia, hawa nafsu, dan bagaimana pula cara-cara menghindari hal-hal yang munkar. Tidak berbeda dengan apa yang diungkapkan dalam cerpen di atas, cerpen "Odah" juga bersifat didaktik-pragmatis. Hanya saja, pembaca disuguhi seorang tokoh bocah bernama Odah yang kala itu terlanda kebimbangan dalam dirinya; apakah Tuhan itu betul-betul ada? Oleh sebab itulah, tokoh aku (pengarang?) dengan gampang mengatakan bahwa Tuhan Ada.
        Kereligiusan yang tampak dalam cerpen "Istri Sang Medium" dan "Bubu Hantu" agaknya sedikit berbeda dengan kedua cerpen tadi. Sebab, yang menjadi fokus perhatian  pengarang dalam kedua cerpen ini adalah manusia yang masih mendewakan adanya kekuasaan setan  atau hantu. Oleh sebab itu, cerpen "Istri Sang Medium" yang berlatarkan Jepang ini tak lebih hanya bersifat pragmatis sebab, menurut hemat pengarang, manusia hendaknya tidak boleh percaya pada seorang Medium (paranormal?) yang menyimpang dari ketentuan agama. Yang menjadi patokan tunggal hanyalah Tuhan Yang Maha Sempurna. Hal ini lebih dipertegas lagi dalam cerpen "Bubu Hantu" yang mengungkapkan bahwa hanya dengan ayat-ayat suci Alquran-lah segalanya bisa diatasi, termasuk hantu yang sering mengganggu ketenteraman manusia.
        Dalam cerpen "Persetujuan dengan Tuhan", menurut hemat saya, nilai religius ditampilkan dengan baik dan terasa menyentuh nurani kita. Betapa tidak? Sebab, tokoh tua, kakek Jambali, yang hidup menderita di tengah hutan, lagipula ditinggal mati anak dan menantunya, dengan sisa-sisa tenaganya berhasil membangun jembatan --dengan bahan rotan-- yang menghubungkan antara tebing yang satu dengan tebing lain. Di samping karena dorongan batinnya untuk menebus kematian anak dan menantunya karena tergelincir di antara tebing itu (oleh karena itu dibangunlah jembatan), juga karena ia telah berjanji dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan. Bahwa hanya dengan jalan itulah dirinya merasa terlepas dari dosa besar, sebab ia berharap jembatan tersebut dapat berguna bagi banyak orang di masa datang. Dan ternyata benar, bahwa hanya dalam selang waktu 10 tahun saja, jembatan itu kelihatan berguna bagi banyak orang.
         Nilai religius yang tidak kalah menariknya terlihat juga dalam cerpen "Rumah Sebelah". Bila kita membaca cerpen ini, kita seolah akan bertanya kepada diri sendiri: sudahkah kita menzakatkan harta kita kepada fakir miskin yang masih berlalu-lalang di depan mata kita? Kalau kita telah semaksimal mungkin menjalankan perintah agama itu, tentu saja kita bisa bersukur, namun kalau belum, kita disarankan untuk berbuat kebajikan sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh agama dan Tuhan.
          Selain penampilan nilai religius secara eksplisit seperti yang terlihat dalam cerpen-cerpen di atas, Mohammad Diponegoro juga menampilkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih menekankan pada unsur keseimbangan antara dunia dan akhirat. Meskipun secara selintas seolah-olah pengarang hanya mengungkapkan persoalan dunia saja, tetapi bila kita kaji lebih dalam dan dicoba untuk dikaitkan dengan apa yang diajarkan oleh agama, tampak bahwa semua itu mengarah kepada aspek religius yang justru lebih dalam. Itulah pengungkapan nilai religius yang boleh dikatakan secara implisit. Hal-hal yang diungkapkan terakhir ini tampak misalnya dalam cerpen "Potret Seorang Prajurit" dan "Komandan" yang menyuarakan kesengsaraan manusia akibat perang. Sedangkan "Penatap Matahari" dan "Kakek Dawut yang Tak Terkalahkan" mengungkapkan peristiwa manusia yang celaka karena kesombongannya dan cerpen "Lelaki yang Dipanggil Buhlul" menampilkan nasib manusia yang tragis akibat keadaan sosial ekonomi yang tidak stabil.
         Satu hal lagi yang menarik dalam cerpen-cerpen ini adalah adanya kritik terhadap situasi masyarakat yang “sakit”. Hal ini tampak dalam "Laut adalah Rumahnya" dan "Memakai Baju Orang Lain". Sedangkan upaya pencarian kebebasan manusia sebagai makhluk individu tampak dalam cerpen "Catatan Seorang Narapidana". Itulah cerpen-cerpen Mohammad Diponegoro yang menampilkan nilai-nilai religius yang secara implisit mengarah kepada hakikat hidup manusia di dunia ini.
        Bila ditinjau secara intrinsik, cerpen Mohammad Diponegoro dalam buku ini mudah dikenali, misalnya, plotnya sederhana, latarnya jelas, tokohnya berdarah daging, tidak banyak aspek psikologi atau filsafat yang masuk, dan tentu hanya membaca dengan santai saja kita mudah menangkap maknanya. Apakah pola cerpen yang demikian lantas bisa digolongkan sebagai cerpen populer atau cerpen yang kurang berhasil? Tentu saja tinggal pembacalah yang berhak memberikan kriteria penilaian terhadapnya.
         Namun, yang jelas, kehadiran Mohammad Diponegoro dalam kancah kesusastraan Indonesia telah kita akui bersama. Bahkan, dia adalah seorang sastrawan yang secara total mengabdi kepada nilai-nilai Islami. Hal ini tidak hanya dapat dilihat dalam karya-karya cerpennya, tapi juga novel Siklus dan drama Iblis yang juga menyuarakan hal yang sama, yakni religius agamis. Inilah sedikit catatan terhadap Mohammad Diponegoro sebagai sastrawan yang layak diperhitungkan.***
                                                            Kedaulatan Rakyat, 28 Mei 1989

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Artikel Jurnal Internasional (4) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Artikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel