-->

Penciptaan Sastra dengan Estetika Semar

            Hampir setiap orang tahu siapa Semar. Semar adalah figur khas dalam dunia wayang. Ia sesepuh panakawan yang senantiasa hadir dalam keluarga Pandawa. Konon ia dewa yang menjelma jadi rakyat jelata. Sebagai dewa, ia pelindung dan penasihat yang menghantarkan Pandawa meraih kemenangan di medan laga. Dan sebagai rakyat jelata, dengan setia ia jadi batur (pelayan) Pandawa. Jadi, Pandawa dan Semar adalah “satu”. Pandawa takkan berarti tanpa Semar, begitu juga sebaliknya.
            Ini adalah simbol. Artinya, kesatria takkan berarti tanpa hamba. Bangsawan, priyayi, takkan  berguna tanpa wong cilik. Jadi, para penguasa negara, orang-orang hebat itu, tanpa dukungan rakyat kecil, juga tak lebih dari orang kebanyakan. Tapi, tak dapat diingkari, orang-orang kecil memang memerlukan penguasa, entah sebagai pengayom, pelindung, mungkin juga sumber nilai dan etika. Menurut bahasa iklan, mereka adalah two in one, dua dalam satu, saling melengkapi, saling bergantung, membaur.
         Inilah cermin harmoni dari tipologi Semar. Ia menjadi sosok kesela-rasan, keharmonisan, juga kenikmatan. Betapa hambar pertunjukan wayang tanpa goro-goro, di mana Semar medhar sabdo, berdiskusi dengan Gareng, Petruk, dan Bagong. Bagaimana seharusnya sikap abdi terhadap bendara, bagaimana perlakuan wong gedhe terhadap wong cilik, bagaimana menegak-kan angger-angger,  semuanya tersaji secara pas, menyentuh, bahkan merebut hati penonton. Di sinilah penonton memperoleh pengalaman estetik, terpu-asi oleh sajian estetika Semar. Betapa sempurnanya Semar, sesempurna Sang Dewa, padahal ia sangat jelek rupa, karena memang ia hanyalah pelayan.
            Berkat kesempurnaannya itu, Semar kemudian menjadi sosok ideal. Ia tidak hanya disayangi dan dipuja masyarakat Jawa, tetapi juga Bali, Sunda, Betawi, bahkan Cina. Keteladanannya dijadikan semacam pranata dalam mengatur berbagai organisasi kemasyarakatan, baik besar maupun kecil. Sosok dan kepribadian Semar telah mengakar, merasuk ke dalam keperca-yaan dan pola hidup masyarakat. Karena itu, tak aneh jika Semar juga “menyelinap” dalam wacana kesusastraan kita, menjadi “roh” penciptaan bagi pengarang dalam mengemas imajinasi mereka.
         Namun itu bukanlah gejala atavistik. Sebab Semar di tangan pe-ngarang diperlakukan secara inkonvensional. Semar tidak sekadar dijadikan pijakan tradisi, penyampai nilai moral, tetapi juga objek estetik dengan gaya ucap yang variatif, kreatif, dan bebas. Sosoknya dipermainkan, eksistensinya dijungkirbalikkan. Ia tampil sebagai counter untuk menyingkap tabir ke-busukan dan kecarut-marutan masyarakat.
         Pengarang yang paling getol memanfaatkan figur Semar adalah Putu Wijaya. Dalam novel Perang (1990), misalnya, sosok Semar (juga panakawan lain) dimanipulasi secara unik. Dengan gaya ucap yang khas, glenyengan, penuh humor dan anekdotis, Semar hadir sebagai “juru koreksi” atas kesalahpahaman dalam Perang Baratayuda. Kisah dalam Perang mirip dengan kisah Mahabatara. Di dalamnya ada dua kubu, Kurawa dan Pandawa.  Mereka “terlanjur” saling bermusuhan. Kurawa di pihak yang kalah, dan Pandawa yang selalu menang. Karena ada “keterlanjuran” itulah, Pandawa menganggap segala tindakan Kurawa selalu jahat dan licik. Ang-gapan ini pada gilirannya melahirkan suatu “pembenaran” terhadap segala hal yang dilakukan Pandawa sendiri. Karena itu, seperti “disimpulkan” oleh Semar dan putra-putranya, bahwa sesungguhnya kelicikan dan kejahatan terjadi bukan hanya pada pihak yang jahat dan kalah, tetapi juga pada pihak yang baik dan menang. Jelasnya, kejahatan dan “dosa” ada di mana-mana, termasuk di pihak Pandawa yang terkenal jujur dan adil itu.
          Hal serupa terjadi dalam novel Pol (1987). Dalam Pol Putu menyuguh-kan figur Semar sebagai sebuah mimpi. Tokoh utama Aston, seorang warga kelas teri, suatu ketika bermimpi melihat Semar. Impian ini sebenarnya bu-kanlah sekadar impian, tetapi lebih sebagai “harapan”, seperti harapan tentang datangnya Ratu Adil. Sebab, sebagaimana dilihat Aston, bahwa masyarakat kita sekarang sedang sakit. Kejahatan, monopoli, dan menipulasi tidak hanya menjadi bagian dari orang-orang berkuasa, tetapi sudah melan-da orang-orang yang paling melarat sekalipun. Namun, dalam novel ini Putu tidak menghadirkan mitos Ratu Adil itu sebagai mimpi Aston, tetapi justru Semar. Mengapa, karena Semar adalah sosok ideal yang selalu ber-pihak pada yang benar tetapi terkalahkan. Dan inilah yang biasanya me-nimpa kaum lemah semacam Aston.
       Impian tentang Semar yang benar-benar Semar, bukan “semar-semaran”, ditampilkan secara bagus dalam lakon “Semar Gugat” oleh Teater Koma di TIM akhir 1995 lalu. Seperti dikatakan Frans Magnis Suseno dan Sindhunata, semakin banyak Semar, sosok Semar semakin samar, sehingga Semar yang benar-benar Semar semakin sulit dipegang. Seperti dalam kisah wayang, biasanya Semar akan menghilang, menyepi, hidup dalam “kesa-maran” jika sedang marah terhadap anak-anaknya. Dalam “kesamarannya” itu ia akan menggugat jatidirinya. Tapi, apakah akan mampu menggugat jatidirinya jika ia selalu dalam “cengkeraman” tuannya? Kalau selalu “dicengkeram”, bagaimanapun, Semar juga bisa “mati”, tidak mampu menunjukkan personalitasnya sebagai dewa. Inilah sebenarnya yang di-inginkan Riantiarno, pimpinan Teater Koma, lewat lakon Semar Gugat (maskah ini telah diterbitkan Bentang, 1995). Secara implisit, lakon ini dimaksudkan sebagai pengembaraan imajiner yang “merindukan, memim-pikan” kehadiran Semar, tokoh ideal pembawa kebenaran. Tapi, impian itu tidak pernah berhasil. Semar-semar sudah hilang dari dunia ini.
          Dengan gaya pembelaannya yang khas, Semar tampil dalam novel (esei) Emha Ainun Nadjib Gerakan Punakawan atawa Arus Bawah (1994). Da-lam novel ini Semar dan ketiga anaknya disimbolisasikan sebagai figur yang mampu menyerap aspirasi kelas bawah. Mereka menyatu dengan rakyat ke-cil. Ketika “kelas bawah” memperoleh perlakuan tidak adil dari “kelas atas”, dengan spontan mereka melakukan reaksi, gerakan advokasi, dan pembe-laan. Dalam kerangka ini, Semar menduduki fungsi yang teramat penting. Semar adalah “roh” dari gerakan arus bawah itu. Jika suatu ketika Semar tiba-tiba menghilang, anak-anaknya akan bingung, tak bisa berbuat apa-apa, seolah gerakan arus bawah mati. Dengan gaya yang kritis, satiris, parodis, dan humoris, Emha memaknai Semar sebagai simbol harmoni sosial.
            Selain itu, dalam karyanya Anak Bajang Menggiring Angin (1983), secara implisit dan jernih Sindhunata mengambil jatidiri Semar sebagai pengisi karakter tokoh-tokoh utamanya. Ia bertolak dari konsep bahwa Semar memiliki “dua dimensi”, yaitu pelayan yang penasihat, manusia yang dewa, dan yang berbudi tetapi jelek rupa. Karena itu, tokoh utama cerita di-ambilkan dari tipe makhluk yang berpenampilan fisik jelek, seperti raksasa, kera, makhluk halus, dan sebagainya, bukan para kesatria seperti Rama dan Sinta. Mengapa demikian, karena seperti diakuinya sendiri, bahwa “kejelekan” merupakan bagian dari “kebaikan”. Kebaikan ada karena ada kejelekan, begitu juga sebaliknya.  Sebagaimana tercermin dalam diri Semar, bahwa justru tipe orang yang jelek itulah yang memiliki keinginan untuk melebihi kebaikan orang baik, sementara yang baik justru cenderung melupakan kebaikannya. Cermin pribadi Semar macam ini secara lebih mendalam dilukiskan Sindhunata  dalam buku  Semar Mencari Raga (1996).
          Kendati tidak eksplisit, eksistensi Semar cukup berarti dalam kasus “dicekalnya” Pak Dalang dalam cerpen Danarto “Balairung” (dalam Gergasi, 1993). Dalam cerpen itu Semar tampil sebagai sosok yang disegani, termasuk oleh bendaranya sendiri. Karena itu, ketika terjadi dialog tentang korupsi  raja, pembesar, dan penguasa, yang semuanya keluar dari mulut Petruk, di balairung Pandawa, Semar lebih bersikap diam, tak berkomentar; mungkin karena Semar menganggap isi dialog itu benar. Kresna, yang dikritik habis-habisan oleh Petruk, juga tak merasa tersindir. Justru yang tersindir orang lain (pendengar) sehingga Pak Bupati  menangkap Pak Dalang.
         Pengarang yang mengangkat mitos wayang cukup banyak. Mereka rata-rata berasal dari subkultur Jawa. Dapat disebutkan, misalnya YB Ma-ngunwijaya dalam Durga Umayi; Umar Kayam dalam Para Priyayi; atau para cerpenis seperti Satyagraha Hoerip, Yanusa Nugroho, dan lain-lain. Namun, dalam karya-karya mereka, Semar tidak menjadi “roh”  penciptaan-nya, te-tapi cenderung mengangkat mitos wayang secara umum.
         Begitulah, antara lain, eksistensi Semar dalam wacana kesusastraan Indonesia. Ini tidak hanya terdapat dalam lakon, novel, dan cerpen saja, tetapi juga puisi. Misalnya karya Darmanto Yatman dan Linus Suryadi AG. Dalam karya-karya mereka Semar  diperlakukan sebagai simbol “idealisasi”, “harapan ”, dan  “impian”, karena Semar (dan semua panakawan) adalah “makhluk ambang” yang memiliki otoritas tinggi dalam hal sindir-menyin-dir. Mereka identik dengan sindiran itu sendiri. Mereka subjek sekaligus objek tertawaan yang segar. Justru karena itu, pihak lainlah (pembaca) yang “dipaksa” untuk menanggapi secara serius.
         Sebagai catatan akhir, dapat dinyatakan bahwa di tangan pengarang Semar bukan lagi sebagai Semar yang dimitoskan, tetapi Semar yang di-idealisasi menjadi “impian” dan “harapan”. Karenanya, dalam wacana kesu-sastraan modern ia hadir sebagai kontramitos.  Ia dijelmakan menjadi sebu-ah “tombak”, “alat koreksi”, untuk mencapai  “harmoni”.  Sebagai sarana harmoni, Semar yang jelek itu menjadi objek estetika penciptaan. Agaknya, estetika “kejelekan” dan “kelucuan” inilah, sebagaimana tercermin dalam diri Semar,  yang lagi trend sekarang ini.***

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Artikel Jurnal Internasional (4) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Artikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel