-->

Penaung Sastra Jawa

         Pada 29 Mei lalu (2010), di Universitas Negeri Yogyakarta, Yayasan Kebudayaan Rancage kembali memberikan hadiah kepada sastra berbahasa daerah. Hadiah sastra yang rutin diberikan sejak 1989 itu tahun ini (2010) tak hanya diberikan kepada sastra Sunda, Jawa, dan Bali, tetapi juga Lampung. Para pemenangnya, baik penulis buku maupun jasa: Usep Romli dan Karno Kartadibrata (Sunda), Sumono Sandy Asmoro dan Bonari (Jawa), I Wayan Sadha dan Agung Wiyat S Ardhi (Bali), dan Asarpin Aslami (Lampung), masing-masing memperoleh uang pembinaan 5 juta plus pigura cantik berisi piagam penghargaan.
          Setiap menghadiri acara penyerahan Hadiah Rancage, terus terang saya merasa terharu. Betapa di era kapitalis modern ini masih ada orang atau yayasan yang begitu setia menyumbangkan sebagian hartanya demi kemajuan sastra lokal (sastra berbahasa ibu).
Yang lebih mengharukan lagi, para pendirinya (Ajip Rosidi dkk) adalah orang-orang Sunda, mestinya hanya sastra Sunda yang diberi hadiah/penghargaan. Tetapi, mengapa mereka juga memiliki perhatian besar pada sastra Jawa, Bali, bahkan Lampung? Pertanyaan ini tak perlu dijawab karena sikap mereka jelas: ingin memajukan generasi bangsa ini lewat sastra daerah tanpa membedakan ras, suku, agama, daerah, dan sejenisnya.
          Sastra berbahasa daerah memang diyakini mampu memberikan fondasi kuat bagi kepribadian anak-anak bangsa; sementara selama ini sastra daerah selalu luput dari perhatian pemerintah. Karena itulah, Ajip Rosidi dengan Yayasan Kebudayaan Rancage-nya bertekad kuat untuk mewujudkan keyakinan itu. Dan satu cara yang dilakukan adalah dengan menjadi penaung (maecenas) yang agenda utamanya memberikan penghargaan kepada buku sastra dan kepada pelaku yang telah berjasa terhadap pembinaan sastra daerah.
          Dalam banyak kesempatan Ajip Rosidi sering menyatakan ”janganlah terlalu berharap pada pemerintah, lakukanlah apa yang dapat dilakukan, mulai dari diri kita sendiri.” Dan dengan kata-katanya itu ia dapat membuktikan: sudah lebih dari 20 tahun yayasan yang didirikannya mampu memberi hadiah Rancage bagi sastra Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung; bahkan juga hadiah Samsudi bagi sastra anak-anak berbahasa Sunda. Barangkali ke depan Rancage tak hanya diberikan kepada sastra Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung, tetapi juga Bugis, Minang, Aceh, Sasak, dll.
          Pertanyaannya sekarang, kapan akan muncul yayasan, atau apa pun nama dan bentuk organisasinya, yang dapat menjadi pengayom/penaung (maecenas) sastra Jawa? Di telinga kita, barangkali pertanyaan ini terdengar usang, tetapi melihat sepak terjang Yayasan Rancage yang begitu peduli terhadap sastra Jawa, tentu kita sebagai pemilik sah sastra Jawa juga harus lebih peduli terhadapnya. Karena itu, kita tak boleh bosan bertanya dan berharap: kapan maecenas sastra Jawa lahir? Apalagi, dilihat luas wilayahnya, masyarakat Jawa tergabung dari tiga provinsi (Jatim, Jateng, DIY) sehingga mustahil jika tak ada seorang pun, atau tak satu pihak pun, yang mampu dan mau menjadi penaung sastra Jawa.
          Harapan itu tidaklah sekadar dilandasi oleh belum adanya penaung (maecenas) yang serius dan rutin memberikan hadiah kepada sastra Jawa. Sesekali hadiah sastra Jawa juga pernah diberikan, di antaranya oleh lembaga pemerintah (Pusat dan Daerah) maupun lembaga swasta. Tetapi, pada umumnya usaha itu tak pernah bisa berkesinambungan. Untuk itu, kita perlu belajar dari Yayasan Rancage tentang bagaimana komitmen, sikap, dan cara pengelolaannya agar harapan akan adanya maecenas yang keberlangsungan hidupnya terjamin dapat terwujud.
          Satu hal yang perlu direnungkan kembali ialah selama ini kita masih terlalu mengagungkan dunia wacana, budaya oral, dan tradisi lisan. Karena itu kita sibuk mengikuti dan menyelenggarakan perhelatan (seminar, konferensi, simposium, kongres, dll) baik lokal, regional, nasional, bahkan internasional. Tetapi, apa yang terjadi? Hasil rumusan dari perhelatan itu memang bagus-bagus, bahkan cenderung muluk-muluk, tetapi umumnya selesai acara selesailah perkaranya, dan hasil rumusannya tak lebih hanya menjadi dokumen yang tersimpan rapi di laci.
          Hal demikian tidak berarti perhelatan semacam itu tidak penting; tapi kalau kemudian hanya menjadi rutinitas tanpa implementasi, akan sia-sia-lah perhelatan yang tak sedikit biayanya itu. Dan benar apa kata Ajip Rosidi ”sudah lebih dari 30 tahun saya mengikuti seminar atau pertemuan baik di dalam maupun di luar negeri, dan semua yang dibicarakan bagus, rumusannya bagus, tapi umumnya itu tak pernah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.” Karena itu, di forum international conference di UNY pada 29 Mei lalu ia menyarankan ”jangan hanya pandai membicarakan tetapi juga harus mau melaksanakan, termasuk melaksanakan usaha pembinaan sastra dan budaya daerah.”
          Untuk itu, sekali lagi, kapan penaung sastra Jawa benar-benar hadir? Sebenarnya, kalau mau, mulai sekarang pun dapat dihadirkan. Andai tak ada seseorang, pengusaha, atau sekelompok pengusaha yang mau menyisihkan sebagian hartanya untuk itu, mestinya Pemda (Jatim, Jateng, dan DIY) tak kesulitan mewujudkannya. Kalau APBD mampu mengalokasikan 4--5 milyar untuk Kongres Bahasa Jawa, tentulah tak sulit memberikan 50--100 juta setiap tahun untuk hadiah sastra (termasuk penerbitannya). Bukankah setiap tahun Yayasan Rancage juga hanya mengeluarkan dana sekitar 50-an juta?
          Kita sadar memang tak hanya soal sastra daerah yang harus diurus oleh Pemda. Persoalan sastra hanya menjadi bagian kecil dari persoalan budaya Jawa yang kompleks yang semua itu perlu ditangani. Tapi, akankah kita merasa bangga jika geliat hidup sastra Jawa justru berkat kebaikan hati tetangga sementara kita sendiri tak serius memeliharanya? Semoga saja hal ini tidak menjadi sebuah ironi. Karenanya Pemda harus cepat mengambil sikap agar keberadaan sastra Jawa tidak bergantung pada kemurahan pihak lain.
          Apalagi, saat ini telah lahir UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Dalam UU itu (pasal 42) dinyatakan dengan jelas ”Pemerintah Daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat ....” Kalau Pemda mau menjadi penaung (maecenas) yang kuat bagi sastra Jawa; tentu ini akan menjadi salah satu perwujudan sikap setia terhadap hukum dan undang-undang. ***
Yogyakarta, Juni 2010.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel