-->

“Gauhati” Budi Darma: Senantiasa Gagal Mengenali Jatidiri

Sebagai pengarang, Budi Darma memang selalu konsisten. Mengapa? Karena, dari dulu hingga sekarang, ia nyaris tidak berubah. Dalam karya-karyanya, baik novel maupun cerpen-cerpennya, pokok soal yang digarap tetap sama, yakni tentang manusia sebagai manusia (ya jiwanya, batinnya, emosinya, dan segala yang berkecamuk dalam dada dan pikirannya). Kalau toh pada tahun-tahun terakhir ini ada perubahan, saya kira perubahan itu hanyalah sebatas pada caranya bercerita. Bacalah misalnya novel Ny. Talis (1996). Novel itu lebih realistis ketimbang Olenka (1983) dan Rafilus (1988). Tetapi, masalah esensial dalam ketiga novel itu tetap sama, yakni di seputar kegagalan manusia dalam usahanya untuk menemukan identitas atau jati dirinya. 
        Hal yang sama terlihat pula pada cerpen-cerpennya yang ditulis sejak tahun 1970-an. Memang, cerpennya “Kritikus Adinan” (Horison, April 1974) atau yang dihimpun dalam Orang-Orang Bloomington (1980), misalnya, terasa begitu aneh bin absurd. Sementara, cerpen yang ditulis belakangan, seperti yang sering muncul di Horison dan Kompas, absurditasnya semakin hilang. Tetapi, sekali lagi, itu hanya berubah cara penceritaannya, bukan pokok soal atau esensinya. Jadi, bagaimanapun juga, sampai kini, Budi Darma masih konsisten.
        Untuk mengetahui lebih jauh mengenai hal tersebut, marilah kita coba baca sekaligus pahami salah satu cerpennya berjudul “Gauhati” (Kompas, 22 September 1996). Dan pemahaman ini sebisa mungkin dicoba untuk dikaitkan dengan beberapa konsep Budi Darma (baca proses kreatifnya) mengenai sastra seperti yang biasa diungkap dan sekaligus tercermin dalam karya-karyanya. Setidak-tidaknya, kita dapat melihat sekaligus berpegang pada beberapa hal berikut.
            Pertama, Budi Darma berkeyakinan bahwa karya sastra lahir dari kekayaan batin dan hanya untuk kepentingan batin, bukan untuk kepentingan sosial. Karena, menurutnya, karya sastra yang diciptakan untuk kepentingan sosial hanyalah sia-sia belaka. Konsep inilah yang menuntun dia sehingga semua karya ciptaannya jauh dari hiruk-pikuk sosial, sebab baginya yang paling inti adalah aspek manusia dan kemanusiaannya. Itulah sebabnya, karya-karyanya sering hanya merupakan serangkaian imajinasi yang liar, tidak masuk akal, karena sesungguhnya, kalau kita mau jujur, apa yang terjadi di dalam batin kita (manusia) memang sering aneh, tidak logis, dan tidak terkendalikan. Hal ini, saya kira terlihat jelas dalam cerpen “Gauhati”.
            Membaca cerpen “Gauhati”, dari awal kita disuguhi peristiwa aneh, peristiwa dunia antah-berantah. Tiba-tiba tiga bidadari datang menemui “saya” (Gauhati). Belum tahu apa maksudnya, tiba-tiba kelebat pikiran “saya” beralih pesan ibunya. “Gauhati, suatu saat tiga bidadari akan mendatangi kamu. Kalau tiba saatnya tiga bidadari datang, janganlah berbuat macam-macam. Ikutilah segala kehendak tiga bidadari.” Demikian pesan yang diterima Gauhati dari ibunya. Dari sinilah kemudian, ketika tiga bidadari bertanya tentang Kuthari, “saya” terus berkisah mengenai Kuthari hingga menjelang akhir cerita. Jadi, cerpen ini sepenuhnya berisi kisah tentang hubungan “saya” dengan Kuthari.
            Namun, di tengah cerita tentang Kuthari, imajinasi “saya” demikian liar, aneh, dan bertentangan dengan logika. Sebab, ketika bidadari bertanya mengapa “saya” bersemangat bercerita, “saya” menyatakan bahwa “saya” tidak lain adalah Kuthari, Kuthari tidak lain adalah “saya”. Dan yang aneh lagi ialah, ketika “saya” menyudahi cerita tentang Kuthari dan dilaporkan kepada tiga bidadari, secara tidak terbendung cerita (laporan) itu terus mengalir. Itulah sebabnya, kita (pembaca) harus berhadapan dengan cara pengisahan yang mengacaukan: apakah yang bercerita itu “saya” Gauhati ataukah “saya” Budi Darma. Jadi, inilah satu sisi yang dapat kita pahami, bahwa membaca karya-karya Budi Darma, kita hanya disuguhi serangkaian peristiwa yang dikemas dengan imajinasi yang liar dan kelebat pikiran yang tak terkendali. Karena itu, wajar jika banyak ahli mengatakan bahwa bahasa karya-karya Budi Darma sering mengocor seperti air pancuran di sawah, tanpa dipilah-pilah atau disaring. Pokoknya, ke mana pikiran dan batin berkelebat, itulah yang keluar (tertulis) di kertas (jadi cerita). Seolah tidak ada pretensi apa pun, kecuali hanya bercerita.
            Kedua, Budi Darma berkeyakinan bahwa takdir senantiasa melekat pada diri manusia, tidak bisa ditolak atau diharapkan kehadirannya. Karena itu, dalam karya-karyanya, ia selalu menggarap manusia berdasarkan takdirnya. Konsekuensinya ialah bahwa Budi Darma berusaha sekuat tenaga untuk meneropong jiwa dan batin (sukma) manusia karena hal itulah yang paling fundamental. Tetapi, karena takdir adalah segala-galanya, ia sadar dan menyatakan sebuah pengakuan bahwa usahanya pasti gagal. Kegagalan demi kegagalan itulah yang membuat dirinya tidak tahu siapa dirinya, ia tidak mampu mengenali apalagi menentukan identitas dan jati dirinya.
            Saya kira, hal itu terlihat jelas dalam cerpen “Gauhati”. Misteri yang muncul pada awal cerita, yakni tentang siapa tiga bidadari yang menjumpai tokoh “saya”, terbuka dan terjawab pada akhir cerita. Terungkap dalam akhir cerita bahwa tiga bidadari itu tidak lain adalah takdir. Bidadari pertama adalah takdir yang menentukan manusia hadir (lahir) di dunia, entah  di mana, atau menjadi siapa. Bidadari kedua adalah takdir yang memintal, merajut, dan menentukan kehidupan manusia di dunia, entah jadi manusia berguna atau tidak, berpangkat atau tidak, jadi kere atau tidak. Sementara itu, bidadari ketiga (terakhir) adalah takdir yang menentukan dan memutuskan semua tali-temali kehidupan manusia.
            Jadi, kalau dibuat rangkuman, tiga bidadari itu adalah tiga hal mengenai takdir manusia, yang bersangkut paut dengan keberadaan manusia, yaitu mulai dari “tiada” (lahir) menjadi “ada” (hidup) dan akhirnya (mati) menjadi “tiada” kembali. Inilah sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar oleh manusia karena semua itu telah menjadi takdir (Tuhan). Pandangan eksistensialis inilah yang memang menjadi kesukaan sekaligus ciri khas Budi Darma dalam bersastra.
            Hanya saja, yang menjadi aneh sekaligus menohok batin kita dalam konteks cerpen ini adalah bahwa lagi-lagi kita dihadapkan pada gaya bercerita yang mengacaukan. Sebab, kita (pembaca) jadi ragu, benarkah tiga bidadari itu datang menjumpai “saya”? Pasalnya, pernyataan yang berbunyi “takdir tidak lain adalah tiga bidadari” itu merupakan ajaran dari ibu “saya” yang pernah dibisikkan kepada “saya” ketika maut siap menjemput. Pola bercerita yang mempermainkan pembaca inilah yang sering dan bahkan pasti dijumpai dalam karya-karya Budi Darma. Tetapi, seperti tampak dalam cerpen ini, dengan penggunaan sudut pandang yang bertingkat-tingkat, pola alur yang disusun seperti anak tangga, cerita-cerita Budi Darma relatif mengesankan dan memikat perhatian pembaca. Pokok soal yang diungkapkan sederhana saja, tetapi berkat kepiawaiannya bercerita, pembaca mau tidak mau harus menerima apa yang dikatakannya.
            Ketiga, Budi Darma berkeyakinan bahwa sastra dapat menimbulkan rasa sakit, takjub, dan syahdu. Sastra menimbulkan rasa sakit karena pada kenyataannya kita sering melihat banyak sekali manusia yang aneh, gila, mementingkan dirinya sendiri, dan sia-sia dalam usaha menentukan identitas dirinya. Sastra juga menimbulkan rasa takjub karena pada galibnya sastra menggambarkan manusia-manusia yang terlalu baik yang mungkin tidak terjangkau oleh kenyataan sehari-hari. Sastra juga menimbulkan rasa syahdu karena nostalgia pengarang adalah nostalgia yang tidak mungkin tercapai. Makin baik suatu karya sastra, katanya, makin banyak karya tersebut menimbulkan rasa sakit, takjub, dan syahdu. Makin baik karya sastra, makin universal pula masalah yang diungkapkan di dalamnya (emosi, ambisi, kebencian, kematian, kesepian, dan sebagainya).
            Keyakinan tersebut agaknya tercermin dalam cerpen “Gauhati”. Tokoh “saya”, Kuthari, penggesek biola (si buta), dan lain-lain yang sama-sama menghadiri pesta ulang tahun Kuthari ke-30, misalnya, adalah tokoh-tokoh yang keras, individual, dan mementingkan diri sendiri. Mereka semua adalah manusia-manusia aneh, gila, sehingga sulit untuk dapat saling memahami. Inilah hal yang menyakitkan. Namun, mereka semua adalah manusia-manusia yang jujur, apa adanya, tanpa tedeng aling-aling, walaupun kejujurannya itu membuatnya menderita. Ini pulalah hal yang menerbitkan rasa takjub. Sementara itu, membaca cerpen tersebut, kita (pembaca) seolah larut dalam tokoh-tokoh rekaan Budi Darma, bahkan terlibat dalam pengalaman bawah sadar Budi Darma sehingga dalam diri kita terasa muncul semacam kesyahduan.
            Demikianlah, akhirnya, perjumpaan kita dengan karya-karya Budi Darma, salah satunya cerpen “Gauhati”. Melalui tiga konsep di atas, setidaknya kita dapat memberikan sebuah penilaian. Tentu saja, apa yang telah kita bicarakan tadi barulah sebagian dari sekian banyak kemungkinan yang ada, karena kita tahu bahwa karya sastra tak lain adalah suatu kehidupan yang terabstraksikan dalam bahasa sehingga karya sastra sama kayanya, atau sama ruwetnya, dengan kehidupan. Jadi, semakin kita lebih dalam menyelami kehidupan, semakin dalam pula kita dapat menyelami karya sastra. ***
Kakilangit (Horison), Januari 2002.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Artikel Jurnal Internasional (4) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Artikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel