-->

Realitas Orba dalam Beberapa Prosa Mutakhir Kita

Dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu silam, pakar politik Andi Mallarangeng berujar “di tengah hiruk-pikuk perubahan besar bangsa ini, para seniman belum mampu melahirkan karya-karya monumental; padahal bahan-bahannya (sikap/perilaku politik, kekuasaan, hukum, dsb) telah tersedia.” Hal itu, katanya, disebabkan oleh banyaknya seniman yang terlibat langsung dalam arus perubahan besar itu (misalnya mengurus partai) sehingga lalai merenung tentang apa yang terjadi. Maka, karya-karya ciptakannya cenderung bersifat pamflet.
            Di satu sisi ujar Andi itu benar kalau “karya monumental” yang dimaksud adalah semacam karya Pramoedya yang “disia-siakan” tetapi justru mendapat Magsaysay dari negara lain itu. Sebab, dalam beberapa dekade terakhir memang tidak lahir karya sekaliber karya sastrawan proletar itu. Maka, sinyalemen Fuad Hassan benar bahwa sejak generasi Horison karya sastra Indonesia “berwarna ungu” (hanya berbicara perasaan personal seseorang). Padahal, pada pergantian rezim Sukarno ke Suharto telah terjadi kegoncangan sosial-politik yang dahsyat: terbunuhnya ratusan bahkan ribuan jiwa yang dianggap terseret ke “aliran kiri” itu.
Tetapi di sisi lain ujar Andi itu berlebihan. Sebab, dalam khasanah prosa mutakhir kita banyak ditemukan karya yang berbicara soal problem sosial-politik dan atau kekuasaan. Sastrawan tahun 90-an agaknya tak segan-segan lagi menohok perilaku sosial-politik Orba. Dan sejak reformasi kecenderungan ini kian menemukan jati diri sehingga seolah kebebasan kreatif dan demokratisasi sastra telah benar-benar terjadi.
Buku Saksi Mata (1994) karya Seno Gumira Adjidarma agaknya telah menjadi “saksi” bagaimana sastrawan kita berani menelanjangi kebobrokan moral politik negeri ini. Lewat karyanya Seno jujur menunjukkan apa itu arti “kebenaran” karena di bawah wajah kelam Orba “kebenaran” sering ditafsir secara sepihak (penguasa) sehingga laporan jurnalisme tak mampu berkutik. Bahkan ia mengalami nasib tragis, yakni dipecat dari jabatan redaktur majalah Jakarta-Jakarta. Maka, ia memilih merefleksikan peristiwa getir rakyat Timtim ke dalam karya fiksi. Terhadap hal ini Seno punya prinsip satirik bahwa ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Sebab, katanya, lewat sastra kita bisa mengatakan kebenaran sejati; tidak seperti kebenaran jurnalisme yang setiap saat mudah dimanipulasi.
Itulah contoh betapa wacana sastra kita yang tidak hanya dipenuhi karya “berwarna ungu”, tetapi juga “berwarna kelam”. Dan kecenderungan itu kini tak henti-hentinya mengalir dari tangan para kreator kita. Periksalah, cerpen-cerpen Pilihan Kompas sejak Kado Istimewa (1992) hingga Jejak Tanah (2002), juga cerpen-cerpen di Horison, Republika, Suara Merdeka, Jawa Pos, dll. Dalam karya-karya itu terlihat jelas ada semacam “kemarahan” pengarang melihat sejarah hitam kekuasaan Orba.
Peristiwa pembantaian di Aceh, misalnya, dipotret secara ironik oleh Motinggo Busye dalam cerpen “Dua Tengkorak Kepala” (1999) dan Seno dalam cerpen “Telepon Dari Aceh” (1999). Di situ terlihat betapa DOM ciptaan Orba telah membuat rakyat Aceh “mendesah”, padahal kontribusi Aceh bagi Indonesia nyaris tak terbilang besarnya. Dan realitas itu terjadi karena, seperti dilukiskan Abel Tasman dalam cerpen “Pipa Darah” (2001), selama ini minyak hasil “negeri serambi Mekah” itu justru berubah menjadi “anggur minuman pejabat” di kota metropolitan (Jakarta). Sementara rakyat Aceh sendiri “kelaparan di negeri yang kaya”. Peristiwa penggusuran tanah rakyat atas nama pembangunan juga tak luput dari perhatian. Cerpen “Jejak Tanah” (2001) karangan Danarto secara simbolik-surealistik menggambarkan betapa rakus penguasa Orba, sementara rakyat dibiarkan merana. Hal serupa dipotret Indra Tranggono dalam cerpen “Monumen Tanpa Kepala” (1997) dan “Percakapan Patung-Patung” (2002).
Perubahan besar dari Orba ke Reformasi juga menjadi peristiwa dramatik di mata pengarang kita. Prasetyohadi dalam cerpen “Penjaja Air Mata” (1998) melukiskan betapa korban gerakan reformasi justru berjatuhan di pihak yang selama ini tersingkir, sementara elite-elite kekuasaan masih saja kuat mencengkeramkan kukunya. Kalau begitu betapa telah mengakar “penyakit” sosial-politik di Indonesia; dan itu tak hanya terjadi di lapisan atas tetapi juga mewabah sampai ke elit-elit birokrasi terbawah. Ini pula yang diungkap Gus tf Sakai dalam cerpen metaforik “Ulat dalam Sepatu” (1998).
Kuntowijoyo dalam novel Mantra Pejinak Ular (2000) tampak lebih utuh memotret sejarah kelam Orba. Karya jenis inilah yang barangkali diharapkan Andi Mallarangeng sebagai “karya monumental”. Meski latar cerita hanya terjadi di sebuah kota kecamatan di kaki Gunung Lawu, tetapi lewat tokoh Abu Kasan Sapari, Kuntowijoyo berhasil mengupas habis kecarut-marutan sistem sosial-politik Indonesia di bawah rezim “Pohon Beringin” itu. Lewat novel ini Kuntowijoyo seolah sedang menyusun risalah sejarah yang di dalamnya tergambar betapa bejat “mesin-mesin politik” melumat segala aspek kehidupan.
Dalam novel itu Abu bukanlah tokoh politik, tetapi hanya seorang dalang. Ia tidak memihak kelompok mana pun, kecuali pada kebenaran. Karena kebenaran lebih efektif disosialisasikan lewat kesenian, ia pun setia pada profesinya sebagai dalang. Maka ia menolak ketika ditawari “mesin politik” untuk menjadi caleg jadi (Pemilu 1997) walau ia harus menanggung resiko yakni ditahan polisi. Satu-satunya keinginan Abu ialah: janganlah kekuasaan mengganggu kesenian, sebab kesenian berbeda dengan kekuasaan. “Kesenian membujuk, kekuasaan memaksa; kesenian berbicara dengan lambang, kekuasaan thok-leh,” begitu katanya.
Meski begitu, seiring dengan perubahan yang terjadi (tumbangnya orde yang kemaruk itu), dalam novel ini Abu tampil sebagai “pejuang demokrasi”. Andai rezim Orba masih berkuasa sampai kini, niscaya novel yang menyajikan realitas sejarah kelicikan Orba yang dibaurkan dengan mitos Jawa ini tak bakal lahir. Atau, kalaupun lahir, belum tentu Kuntowijoyo mau menerbitkannya, lebih-lebih lewat koran Kompas yang memiliki jangkauan amat luas itu.
Tetapi kini novel itu telah hadir. Itu menjadi bukti di dalam sastra kita tidak hanya mengalir karya-karya “berwarna ungu”, tetapi juga karya yang mampu menjadi saksi sejarah perjalanan bangsa. Hanya sayangnya, upaya Kuntowijoyo itu belum merangsang pengarang lain untuk menciptakan karya sejenis. Padahal, karya jenis ini tidak hanya mampu menumbuhkan kesadaran personal seseorang, tapi juga membangun kesadaran sosial dan kesadaran berbangsa. Walaupun, terkadang aspek estetik tak tergarap dengan baik akibat lebih mementingkan aspek ekstra-estetik seperti pesan-pesan ideologis.***
Kedaulatan Rakyat, 29 Februari 2004

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Artikel Jurnal Internasional (4) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Artikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel