-->

Tak Seorang pun Sastrawan Hidup Layak; Perlu Rekonstruksi Penerbitan: Merenungi Kembali Kondisi Kesastraan Yogya

Sejarah mencatat bahwa tradisi bersastra di Yogya telah memiliki sejarah cukup panjang. Pada dua setengah abad lalu, misalnya, ketika Kompeni mencengkeramkan kukunya dengan kokoh sehingga mudah mencampuri urusan intern kerajaan, terutama setelah Perjanjian Giyanti (1755), di Yogya telah terbangun suatu kegiatan seni-budaya yang saat itu dipelopori oleh para pembesar (sultan dan sunan) yang berkuasa.
            Semula kegiatan yang mereka lakukan hanya untuk mengantisipasi krisis moral akibat krisis politik (akibat penjajahan). Tetapi, kegiatan itu kemudian berubah menjadi tradisi bersastra yang menyegarkan sehingga pada abad ke-18 pertumbuhan sastra daerah (Jawa) mencapai zaman keemasan. Beberapa tokoh yang berperan antara lain Paku Buwana IV, Paku Buwana IX, Paku Buwana X, Mangkunegara IV, dan Ranggawarsita. Semula tradisi itu hanya berkembang di istana (Mataram) dengan berbagai karya sastra priyayi untuk kepentingan legitimasi kekuasaan raja, tetapi kemudian berkembang juga di daerah-daerah pesisir; hal itu ditandai oleh munculnya karya sastra singir atau sastra pesantren di daerah sekitar pantai utara Jawa.
            Sejarah mencatat pula pada masa itu para pujangga mendapat tempat terhormat di keraton karena melalui seni-sastra ia dianggap sebagai orang terpilih yang mampu membimbing rakyat. Hasil karyanya pun kemudian diakui sebagai adiluhung sehingga dihormati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat. Karena itu, para pujangga lalu mendapat perlindungan penuh, dan mereka diberi hak untuk ikut menikmati berbagai fasilitas yang disediakan keraton sehingga kehidupan sosial dan ekonominya terjamin.
            Jelas bahwa kondisi tersebut berbeda dengan kondisi sastrawan di zaman modern ini; dan hal ini telah berlangsung sejak era kepujanggaan Ranggawarsita berakhir (akhir abad ke-19). Sebab, sejak awal abad ke-20, lebih-lebih setelah kemerdekaan, sastrawan harus berjuang mati-matian untuk mempertahankan hidup karena hidup mereka sepenuhnya ditentukan oleh pasar. Perjuangan itu semakin berat karena kenyataan menunjukkan di pasar harga karya seni (sastra) begitu rendah sehingga pengarang tidak mungkin mengandalkan hidup dari hasil karangannya.
            Demikian juga yang terjadi di Yogya dewasa ini. Tak seorang pun sastrawan Yogya hidup layak dari hasil karangannya sehingga profesinya sebagai sastrawan hanya hobi belaka. Umumnya profesi pokok mereka adalah dosen (Umar Kayam, Kuntowijoyo, Bakdi Sumanto, Rachmat Djoko Pradopo, Y.B. Mangunwijaya, Ashadi Siregar, Suminto A. Sayuti, Darmanto Jatman, Faruk, Andrik Purwasito, Sujarwanto, Tuti Nonka, dll.); sebagai redaktur, wartawan, atau pengelola penerbitan (Mohammad Diponegoro, Achmad Munif, Agnes Yani Sarjono, Dhorotea Rosa Herliani, Joko Pinurbo, Ahmadun Yosi Herfanda, Arwan Tuti Artha, Mustofa W. Hasjim, dll.); sebagai karyawan instansi (Kuswahyo S.S. Rahardjo, dll.); atau sebagai penerjemah (Landung Rusyanto Simatupang), dan sebagainya.
            Jika saat ini hidup mereka tampak mapan, kemapanan itu tidaklah berkat profesinya sebagai pengarang, tetapi oleh profesi pokoknya. Karenanya, pengarang yang tidak punya pekerjaan tetap yang mampu menunjang hidupnya secara rutin, biasanya mereka lebih suka hijrah dari Yogya; dan di benaknya Yogya hanya sebagai “kawah candradimuka” belaka. Dapat disebutkan, misalnya, W. S. Rendra, Danarto, Sapardi Djoko Damono, Motinggo Busye, Subagyo Sastrowardoyo, dan beberapa sastrawan lain yang sekarang bermukim di Jakarta.
            Kondisi itulah yang mengakibatkan di Yogya sering terjadi “krisis” sastrawan karena kota ini sering harus bersayonara dengan para sastrawan yang seharusnya menjadi “milik” Yogya. Memang “krisis” itu sering segera dapat diatasi karena ada beberapa sastrawan yang mau berkorban (tenaga, waktu, dan pikiran) untuk membina calon-calon pengarang. Taruhlah misalnya Umbu Landu Paranggi (dibantu Ragil Suwarno, Teguh Ranusastra, Soeparno S. Adhy, Iman Budi Santosa, dll.) yang pada 1970-an suntuk mengurusi PSK (Persada Studi Klub) dan membimbing para seniman melalui mingguan Pelopor Yogya. Upaya itu pantas diacungi jempol karena dari PSK kemudian lahir beberapa sastrawan penting seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, dsb. Upaya itu lalu diteruskan oleh Ragil Suwarno Pragolapati yang hingga 1980-an sibuk membina calon-calon pengarang melalui studi-klub Semangat, kelompok Sindikat Pengarang Yogya, SYS (Sastra-Yoga-Spiritualitas), atau Mitra Lirika. Dari “padepokan” ini lalu muncullah beberapa pengarang muda berbakat. Hanya sayangnya, setelah Umbu Landu pulang kampung (Lombok, NTB) dan Ragil Suwarno belum kembali dari “Istana Ratu Pantai Selatan” (bukit Semar), sampai kini belum ada yang menggantikan posisi dan kedudukannya.
            Kenyataan inilah yang perlu dipikirkan oleh komunitas sastra di Yogya karena, kalau tidak, tradisi bersastra yang telah terbangun sejak lama itu pasti akan mengalami jalan buntu. Memang di Yogya banyak muncul kantung-kantung sastra seperti yang dibangun para mahasiswa di UGM, IAIN, UNY, UAD, USD, ISI, SARWI, ASDRAFI, dan UWM. Selain itu, ada instansi pemerintah (Balai Bahasa) yang setiap tahun (sejak 1994) membina proses kreatif para guru dan siswa SLTA dan SLTP melalui Bengkel Sastra. Bahkan akhir-akhir ini juga lahir HISMI, Studi Pertunjukan Sastra, Koperasi Seniman (Kodya), Kelompok Infus (Kulonprogo), Kelompok Al-Badar (Bantul), Kelompok IMA-NBA (Sleman), dan Kelompok Sastra Gunungkidul (Wonosari) yang secara berkala mengadakan diskusi dan tegur sapa budaya.
            Hanya saja, berbagai grup sastra itu bersifat temporer, lagi pula selalu diliputi kesulitan dana, sehingga suatu saat pasti mudah macet. Kalau ini yang terjadi, sistem kepengarangan yang sudah terbangun sejak lama pasti akan segera berakhir. Namun, semua itu dapat dimengerti karena sistem lain yang mendukungnya, misalnya sistem penerbit, belum terarah pada upaya membangun sistem sastra Indonesia di Yogya dengan baik. Hal itu terbukti, sebagian besar penerbit di Yogya masih terjerat pada upaya meraih keuntungan finansial semata sehingga sisi lain yang berkait dengan wawasan dan idealisme tersisihkan.
            Sebagai kota budaya, pariwisata, dan pendidikan, Yogya agaknya potensial untuk tumbuh dan berkembangnya lembaga penerbitan (majalah dan koran). Hal itu dapat diprediksi dari banyaknya masyarakat yang memiliki kemampuan baca-tulis; dan semua itu berkait erat dengan peran masa lalu keraton sebagai pusat kekuasaan dan kebudayaan. Peluang inilah yang ditangkap oleh para pengusaha sehingga sejak Indonesia merdeka, di Yogya muncul berbagai majalah dan koran.
            Pada masa Orla, misalnya, terbit Minggu Pagi (1945), Indonesia (1948), Arena dan Patriot, Seriosa, Sastra, Pesat, Budaya, dan Basis (1950--1960-an). Terbitan ini kebanyakan sudah almarhum; yang bertahan hingga masa Orba hanya Minggu Pagi dan Basis. Namun, pada era Orba kemudian muncul lagi Bernas, Masa Kini (Yogya Post), dan Eksponen (1970-an). Harian Masa Kini (Yogya Post) hidup kembang kempis, sementara Eksponen kini telah mati.
            Beberapa lembaga penerbitan itulah yang selama ini mendukung pertumbuhan sastra Indonesia di Yogya. Hanya saja, lembaga pers itu baru aktif mempublikasikan sastra sejak 1960-an. Minggu Pagi, misalnya, selain memuat artikel, juga memuat cerpen, cerbung, dan puisi. Pada 1960-an cerbung Hilanglah Si Anak Hilang Nasjah Djamin dimuat Minggu Pagi, selain karya Motinggo Busye, Bastari Asnin, dan Rendra. Sementara Pesat dan Budaya (milik P dan K) juga memuat artikel, puisi, dan drama. Meski sebagai majalah kebudayaan umum, sejak terbit pertama (1950), Basis juga memberi ruang bagi puisi karya penyair Yogya. Meski terlambat, KRM juga memberi ruang khusus bagi cerpen, puisi, dan artikel sastra dan budaya. Kondisi ini makin semarak ketika Bernas dan Masa Kini (Yogya Post) juga berbuat sama.
            Nyata bahwa dinamika perkembangan sastra di Yogya sepenuhnya didukung pers. Sebab, tak satu pun penerbit buku berminat menerbitkan buku novel, puisi, cerpen, atau drama. Kalaupun ada, seperti Bentang yang menerbitkan Pasar dan Impian Amerika (Kuntowijoyo), Golf untuk Rakyat (Darmanto Jt), Jentera Lepas (Ashadi Siregar), Orang-Orang Rangkas Bitung (Rendra), Sesobek Buku Harian Indonesia dan Syair-Syair Asmaul Husna (Emha A. Nadjib), Kali Mati (Joni Ariadinata), atau karya Ahmad Tohari, Mustofa W. Hasyim, dll, atau Pustaka Pelajar yang menerbitkan cerpen suntingan mahasiswa sastra UGM, itu pun baru terjadi pada pertengahan tahun 1990-an. Sementara itu, penerbit lain, baik yang berinduk pada perguruan tinggi seperti Gama Press, UNY Press, atau IAIN Press maupun yang swasta penuh belum berminat menerbitkan buku sastra.
            Kalau akhir-akhir ini ada penerbit (swasta) berlomba menerbitkan sastra, misalnya YUI, Adicita, Mitra Gama, Gama Media, Kota Kembang, Sipres, Kalika, dll, itu semata hanya karena ada support dari Ford Foundation bekerja sama Yayasan Adikarya IKAPI, atau karena ada proyek penerbitan buku (dengan dana Bank Dunia) yang dikelola Pusat Perbukuan. Jika suatu saat bantuan itu berakhir, apakah mereka masih berminat menerbitkan buku sastra? Kalau tidak, jelas bahwa mereka tidak sungguh-sungguh membangun keberlangsungan hidup sastra di Yogya, tetapi hanya sekedar “mengambil kesempatan” untuk meraup keuntungan belaka.
            Kendati kiprah penerbit buku memprihatinkan, tidak berarti di Yogya sepi terbitan buku sastra. Buku-buku yang telah terbit, terutama antologi, hingga kini mencapai puluhan, bahkan mungkin lebih dari seratus judul. Tetapi, buku-buku itu tidak diterbitkan penerbit profesional, tetapi oleh kelompok tertentu yang sifatnya temporer. Kelompok mahasiswa sastra UGM, misalnya, bekerja sama dengan Pustaka Pelajar menerbitkan Nyidam (1994) dan Maling (1994); MPI bersama IKIP Muhammadiyah (UAD) menerbitkan Seninjong (1986) Andrik Purwasito, Sajak Penari (1990) Ahmadun Y. Herfanda, Cahaya Maha Cahaya (1988) Emha Ainun Nadjib, Syair-Syair Cinta (1989) Suminto A. Sayuti; dan IAIN Suka menerbitkan Sangkakala (1988) dan Kafilah Angin (1990); ditambah terbitan Sarwi, USD, UNY, dsb. Sementara itu, Taman Budaya (DKY), tiap tahun (sejak 1989), selain menerbitkan antologi cerpen, puisi, dan drama melalui FKY, juga menerbitkan Aku Angin (1986), Tugu (1986), dan Zamrud Katulistiwa (1997). Sejak 1995, Balai Bahasa menerbitkan antologi cerpen/ puisi karya peserta bengkel, antara lain Kalicode (1996) dan Noktah (1998). Pengarang yang sering terlibat dalam bengkel ini Suminto A.S., Sri Harjanto, Agus Noor, Landung Simatupang, Iman Budi Santosa, dan Joni Ariadinata.
            Hanya saja, buku-buku tersebut sebagian besar bersifat terbatas sehingga para sastrawan di Yogya pun tidak sempat baca. Inilah yang menyebabkan karya-karya itu sering tidak diakui sebagai sastra nasional, tetapi sastra lokal. Karena itu, tak heran kalau pada awal 1980-an muncul gugatan keberadaan sastra pusat (Jakarta); seolah yang diakui sebagai sastra Indonesia hanya karya yang diterbitkan dan dibicarakan di Jakarta. Namun, gugatan itu sebenarnya identik dengan gugatan terhadap diri sendiri karena belum diakuinya sastra Yogya sebagai sastra nasional juga karena para pendukung sistem sastra di Yogya belum berjuang keras untuk mengangkat karya-karya itu ke forum nasional atau internasional.
            Karena itu perlu kini dilakukan rekonstruksi terhadap sistem-sistem makro, terutama sistem penerbitan, agar keberadaan sastra Indonesia di Yogya memperoleh tempat sebagaimana mestinya. Karena itu peran besar penerbit (buku) di Yogya sangat dinanti-nanti; sayang kalau hasil produksi sastra yang melimpah di Yogya akan terkubur sia-sia; dan sayang pula kalau sastrawan potensial seperti Kuntowijoyo, Umar Kayam, Bakdi Sumanto, Emha, Darwis Khudori, Indra Tranggono, Joni Ariadinata, Agus Noor, Abidah El-Khalieqy, Teguh Winarso, Achid BS, dsb harus “melempar” karyanya ke penerbit di luar Yogya. Hanya saja, yang jadi soal adalah: beranikah para penerbit Yogya menghadapi tantangan itu? Mampu dan maukah para penerbit menepis kesan tentang sering terjadinya “penipuan” (soal jumlah oplah dan fee) terhadap pengarang? Beberapa pertanyaan ini agaknya perlu diperhatikan oleh penerbit.
            Selain itu, budaya kritik dan sosialisasi sastra juga perlu digalakkan. Kritik hendaknya tidak hanya mengarah pada budaya kelisanan (seminar, lokakarya, dll), tetapi juga sampai ke publikasi media massa (lokal dan nasional). Kritikus hendaknya juga tidak hanya mensosialisasikan karya yang telah memiliki akses nasional, tetapi juga karya lokal, agar karya-karya produk Yogya tidak tergeletak merana. Budaya ewuh-pekewuh (hanya karena mengkritik karya kawan sendiri) yang masih menyelimuti kehidupan kritik sastra di Yogya pun agaknya perlu pula dieliminir jauh-jauh.
            Namun, disadari bahwa usaha itu tidak mudah. Mengandalkan sistem pengarang, penerbit, dan kritik tidaklah cukup. Agaknya ada satu hal yang pantas diperhatikan, yaitu pengayom (maecenas). Sebab, pengayom ini dari dulu diyakini sebagai “ibu yang siap melindungi, menyusui, dan berkorban demi kelangsungan hidup anak-anaknya”. Mereka itulah yang selama ini memungkinkan terjalinnya hubungan erat antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat pembaca. Tanpa pengayom, mustahil karya sastra yang ditulis pengarang dapat diterbitkan dan kemudian dinikmati oleh pembaca.
            Seperti diketahui pengayom sastra di Yogya cukup banyak, misalnya lembaga penerbitan dan pers, lembaga pendidikan tinggi, dan instansi atau lembaga-lembaga kebudayaan lain baik swasta maupun pemerintah. Dari usaha pers, misalnya, PT BP KR yang menerbitkan KR dan MP telah cukup lama (sejak 1960-an) memberikan hak hidup bagi sastra Yogya. Hal ini dilakukan pula oleh pers yang muncul sesudahnya (Bernas, Masa Kini, Yogya Post, Eksponen, dan Basis). Melalui pembukaan rubrik-rubrik puisi, cerpen, resensi, dan sejenisnya, lembaga pers ini menunjukkan peran aktifnya sebagai pengayom.
            Kepengayoman sastra Indonesia-Yogya juga dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi, setidaknya yang memiliki jurusan sastra. UGM, misalnya, melalui Fakultas Sastra dengan KMSI dan FPSB telah memberikan andil cukup besar bagi keberlangsungan hidup sastra di Yogya. Pusat Studi Kebudayaan (sekarang PPKPS) pimpinan Umar Kayam (lalu Safri Sairin dan kemudian Faruk) juga secara berkala menyediakan berbagai fasilitas untuk pertemuan dan diskusi sastra. Barangkali ini tidak lepas dari peran aktif Faruk, Rachmat Djoko Pradopo, Bakdi Soemanto, Kris Budiman, Aprinus Salam, dll yang hingga kini tetap commited terhadap perkembangan sastra di Yogya. Dari komunitas kecil ini kemudian terbit beberapa antologi puisi dan cerpen, baik karya para pengarang Yogya maupun karya para mahasiswa setempat.
            IKIP (sekarang UNY), meski kurang begitu gencar kiprahnya, juga berperan sebagai pengayom. Melalui FKSS (FPBS, kini FBS), dengan tokoh-tokoh seperti Suminto A. Sayuti (sekarang Dekan), Ahmadun Y. Herfanda (sekarang wartawan Republika), Budi Nugroho, dll, telah membentuk kelompok pecinta sastra yang sekali waktu menyelenggarakan pertemuan dan diskusi sastra. Selain itu, melalui majalah Diksi, UNY juga menyajikan berbagai esai sastra. Hal yang sama dilakukan IKIP Muhammadiyah (UAD). Melalui FKIP JPBS dengan MPI (Masyarakat Poetika Indonesia) dan LP3S (Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Sastra) juga sering mengadakan pelatihan sastra, pembacaan dan lomba puisi, penerbitan antologi, penerbitan majalah Citra, Bahastra, Poetika, dsb. Ini semua tidak lepas dari peran beberapa aktivis seperti Suminto A. Sayuti, Jabrohim, Nursisto, Rina Ratih, Joni Ariadinata, dan sebagainya.
            IKIP Sanata Darma (sekarang USD) agaknya juga berbuat sama. Melalui majalah Gatra, Fakultas Sastra USD sering menyajikan puisi, cerpen, dan esai sastra, di samping mengadakan pelatihan dan diskusi sastra. Orang-orang yang aktif di dalamnya B. Rahmanto, Joko Pinurbo, Dhorotea Rosa Herliani, Fx. Santosa, dsb. Demikian juga Universitas Taman Siswa (Sarwi). Meski perannya agak kurang, lembaga ini kadang juga mengadakan seminar dan diskusi sastra. Selain itu, peran IAIN Suka juga cukup penting. Dari kampus ini bahkan telah lahir beberapa penyair yang cukup potensial, di antaranya Faisal Ismail, Mathori A. Elwa, Abidah El-Khalieqy, dll; dan mereka sekarang telah pula menerbitkan beberapa buku antologi.
            Di samping pers, lembaga pendidikan tinggi, atau lembaga lain seperti LIP (Lembaga Indonesia Perancis) atau Yayasan Hatta (berkat peran Bang Fauzi saat itu), kehidupan sastra Indonesia-Yogya juga mendapat pengayoman dari lembaga-lembaga pemerintah (Taman Budaya, Balai Bahasa, Dinas Kesenian, Balai Kajian Sejarah, dll). Berbagai lembaga ini umumnya setiap tahun mengalokasikan dana untuk acara-acara kesenian, misalnya pembacaan, lomba, atau diskusi sastra. Peran penting Taman Budaya (sekarang terlikuidasi) adalah senantiasa menyediakan tempat untuk komunitas sastra di Yogya. Balai Bahasa membina Sanggar Sastra Indonesia dan menerbitkan bulletin Girli (Pinggir Kali) yang dipandegani Herry Mardianto, di samping membina siswa dan guru dalam hal proses kreatif melalui Bengkel Sastra. Sementara itu, Dinas Kesenian dan Balai Kajian Sejarah setiap tahun juga mengadakan lomba penulisan puisi dan cerpen. Inilah beberapa lembaga pengayom sastra Indonesia di Yogya. Dan ini tidak terbatas pada lembaga-lembaga yang berdomisili di Kotamadya, tetapi juga di Sleman, Bantul, Kulonprogo, dan Gunungkidul.
            Hanya sayangnya, sistem pengayom ini banyak kendalanya. Kendala paling utama adalah minimnya dana. Karena dana terbatas, kegiatan sastra tidak dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dan semakin meningkat, baik kualitas maupun kuantitasnya. Selain itu, juga ada kendala mengenai birokrasi. Struktur pemerintahan yang rumit dan berbelit-belit acap kali memberi kesan menghambat proses kerja kesenian. Hal ini, misalnya, dapat diamati ketika diselenggarakan FKY setiap tahun atau ketika digelar Kemah Budaya 2000 di Parangtritis. Menurut berita di media massa, terkesan ada rasa ketidakharmonisan antara pengayom dan para pelaku kesenian.
         Kendati muncul kendala atau hambatan tertentu, bagaimanapun keberadaan pengayom tetap penting karena realitas menunjukkan bahwa tanpa “orang tua asuh” itu ternyata kehidupan seni-sastra, tidak terkecuali sastra Indonesia di Yogya, terseok-seok, tertatih-tatih. Hal yang agaknya penting untuk dipikirkan sekarang ialah bagaimanakah caranya agar dunia sastra tidak “terlalu bergantung” pada pengayom.***


Artikel ini oleh Minggu Pagi dibagi menjadi dua, yakni (1) “Perlu Rekonstruksi Sistem Penerbitan”, Minggu Pagi No. 10, Thn. 54, Minggu II/Juni 2001 dan (2) “Tak Seorang pun Sastrawan Hidup Layak”, Minggu Pagi No. 12, Thn. 54, Minggu IV/Juni 2001. Setelah itu dimuat dalam buku MEMBACA SASTRA JOGJA terbitan Balai Bahasa Provinsi DIY, 2012, hlm.94--104.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Artikel Jurnal Internasional (4) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Artikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel