-->

Refleksi Sumpah Pemuda 28 Oktober: Tantangan Bahasa Indonesia ke Depan

Kini usia Bahasa Indonesia telah mencapai 82 tahun (1928--2010). Ibarat manusia ia telah tua dan matang. Tetapi, sudahkah Bahasa Indonesia meresap ke dalam “darah daging” dan menjadi kebanggaan sekaligus kebutuhan penting bagi bangsa Indonesia? Pertanyaan ini pantas diajukan karena muncul gejala bahwa di era global ini masyarakat kita mulai dihinggapi wabah bahasa asing sehingga melemahkan sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Apakah gejala ini muncul hanya karena persoalan prestis ataukah memang bahasa Indonesia tidak lagi mampu memenuhi fungsinya bagi bangsa ini?
          Inilah tantangan bahasa Indonesia ke depan. Sebenarnya generasi muda 1928 sebagai penggagas berdirinya republik ini telah pas menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (bahasa nasional); bahasa yang mempersatukan berbagai-bagai suku dan bahasa di negeri ini. Setelah NKRI terwujud pun, pemerintah juga telah pas dan tepat menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Tetapi, belakangan tampak bahwa sebagian dari kita mengalami krisis bahasa. Karena bahasa adalah identitas, krisis bahasa itu berarti pula krisis identitas (jatidiri).
          Hal tersebut terjadi karena kita takut pada bayang-bayang atau berhala globalisasi. Di dalam masyarakat kita masih muncul anggapan bahwa satu-satunya jalan untuk selamat dari lindasan globalisasi adalah penguasaan bahasa asing, terutama Inggris. Dan kita juga merasa bahwa bahasa asing memiliki daya jual dan daya pengangkat derajat atau wibawa sosial dan ekonomi. Dan karenanya, banyak merek dagang, spanduk, nama perusahaan, hotel, restoran, bank, atau iklan layanan umum di ruang-ruang publik secara dominan menggunakan bahasa asing (Inggris). Beberapa sekolah di berbagai kota di Indonesia kini juga menyatakan diri sebagai sekolah bertaraf internasional dengan bahasa pengantar bahasa Inggris.
          Belakangan sebagian dari kita juga mengalami krisis identitas suku bangsa. Sejumlah bahasa daerah telah dan akan punah. Kepunahan itu terutama disebabkan oleh penuturnya tidak mau lagi menggunakan bahasa itu. Sebab, mereka (kita) menganggap bahwa bahasa daerah telah ketinggalan zaman dan tidak bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Padahal, jika bahasa daerah itu punah, berarti ideologi, budaya, dan situasi atau kebijakan terhadap alam dan sosial dalam bahasa yang telah dibangun melalui evolusi bertahun-tahun itu pun akan punah.
          Penggunaan bahasa asing yang tidak proporsional, musnahnya bahasa daerah, dan begitu mudahnya aset budaya kita diambil orang (bangsa) lain merupakan bukti bahwa bangsa ini sedang mengalami krisis jatidiri baik sebagai bangsa maupun suku bangsa. Hal ini terjadi selain akibat dari kualitas hidup yang rendah, juga akibat dari ketidaktahuan kita terhadap peran bahasa dalam kehidupan. Maka, salah satu upaya yang tepat untuk mengatasi krisis jatidiri adalah melalui pendidikan yang berkualitas. Siswa dan mahasiswa harus dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia secara berkualitas. Siswa, guru, dosen, pejabat, wartawan, politisi, ilmuwan, para pemikir, tokoh masyarakat, dan kaum intelektual lainnya sebaiknya paham tentang kebijakan (politik) kebahasaan yang digariskan pemerintah.
          Suatu bangsa akan maju jika mampu merealisasikan jatidirinya, mampu mendayagunakan karakter atau hikmah budayanya, dan semua itu dilakukan dengan cara menyatu dengan bahasanya. Bangsa yang cemerlang dan mau berpikir tentang bahasanya merupakan sumber daya untuk mengembangkan kreasi dan inovasi. Bukti menunjukkan bahwa bangsa yang berjaya adalah bangsa yang telah berhasil mengembangkan nilai dan hikmah budaya dalam bahasanya. Hampir tidak ada bangsa yang jaya karena meminjam atau meniru bahasa bangsa lain. Jepang, Korea, dan China telah terbukti mampu memberdayakan budaya mereka dengan menggunakan bahasa mereka, bukan menggunakan bahasa lain (Inggris), untuk meraih kejayaan.
          Ada tiga bahasa yang berperan dalam membentuk jatidiri bangsa Indonesia, yaitu bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing. Bahasa daerah dan bahasa Indonesia paling dekat dengan bangsa Indonesia sehingga keduanya paling berperan dalam membentuk jatidiri seseorang sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Bahasa asing diharapkan berfungsi mengembangkan jatidiri bangsa yang sudah kukuh dibentuk oleh bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Namun, fakta menunjukkan bahwa bangsa kita mulai memberi keutamaan pada bahasa asing, terutama Inggris. Sikap pemberian keutamaan pada bahasa asing ini tentu akan mereduksi jatidiri bangsa sehingga sikap demikian harus diubah. Caranya ialah dengan menempatkan sikap mengutamakan bahasa Indonesia tanpa meninggalkan bahasa daerah dan bahasa asing secara proporsional. Sebab, hanya dengan sikap proporsional itu keseimbangan sosial baik dalam konteks lokal, nasional, maupun global akan dapat dicapai.
          Cita-cita itu diharapkan akan segera terwujud seiring dengan hadirnya UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Di dalam UU itu bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing diatur sedemikian rupa; dan bahasa Indonesia ditempatkan sebagai bahasa yang paling utama untuk digunakan. UU No. 24 Tahun 2009 itu juga telah disusul oleh Perpres No. 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara lainnya. Dalam Prepres ini diatur tentang kewajiban berbahasa Indonesia jika pejabat negara berpidato baik di dalam maupun di luar negeri. Selain itu, tidak lama lagi juga akan lahir Perpres baru tentang Penggunaan Bahasa. Perpres itu antara lain mengatur pengutamaan penggunaan bahasa Indonesia, pengawasan, dan sanksi-sanksinya.
          Harapan kita, dengan menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang utama, jatidiri dan karakter bangsa kita semakin kukuh sehingga kita mampu memberdayakan berbagai aspek sosial, ekonomi, ideologi, dan budaya untuk meraih kejayaan. Untuk itu, saat ini kita mesti lebih bersikap positif terhadap bahasa Indonesia. Bukankah kita telah bersumpah (butir ke-3 Sumpah Pemuda): “kami, putra (dan) putri Indonesia, (akan) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia?” ***

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Artikel Jurnal Internasional (4) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Artikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel