-->

Novel Pol: Pertemuan Putu Wijaya dengan Semar

Wayang tampaknya merupakan dunia tersendiri yang hidup kokoh dan memiliki masyarakat penggemar tersendiri pula. Bagi masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali, wayang barangkali dapat dianggap sebagai lembaran cermin hitam putih, benar salah, baik buruk, atau sebagai sumber nilai etika. Etika wayang tampak menyatu dalam diri mereka. Jika orang menyebut nama Kurawa, pastilah di benaknya tergambar sebuah lembaran hitam, penuh nafsu ambisi; dan sebaliknya, jika orang menyebut nama Pandawa, berarti di benak mereka tergambar bayangan putih, bersih, dan penuh kebajikan. Tampaknya etika wayang inilah yang mengilhami Putu Wijaya dalam menggarap novel Pol yang diterbitkan oleh Grafiti Pers, 1987. 
          Kendatipun etika wayang merupakan salah satu hasil kebudayaan klasik yang adilihung, tetapi karena Putu Wijaya berhasil mengolah dengan gaya dan bahasa yang kontemporer, masa kini, maka berbagai peristiwa dalam novel itu pun tersaji mengalir dengan bersih, segar, dan tetap menghanyutkan pembaca untuk menuntaskan ceritanya. Inilah salah satu ciri unik sastrawan “serba bisa” kelahiran Tabanan, Bali, pada 11 April 19944 itu. Ia memang piawai dalam bercerita, dan ketajaman intuisi serta imajinasinya membuatnya mampu mengolah hal sekecil apa pun menjadi tema-tema besar dan beragam.
            Begitu pun yang tersaji dalam novel kecil ini. Putu menghidupkan tokoh wayang, Semar Badranaya, seorang abdi kinasih keluarga Pandawa, yang muksa dan menjelma dalam diri tokoh Aston, pelaku sentral dalam novel ini. Barangkali berkat sebuah mitos klasik bahwa Semar adalah tipe batur (pembantu) yang dituntut untuk berkata jujur, maka Putu Wijaya menjelmakannya ke dalam diri Aston, sebagai abstraksi Semar, yang diharapkan kelak sabda pandita Semar dapat menjadi semacam sabda kebajikan dan kejujuran. Pemilihan teknik penggunaan sosok Semar oleh Putu tak lain adalah untuk membuka mata masyarakat agar secara bersama-sama melihat penyakit sosial yang kini banyak melanda dunia modern.
            Selain untuk membuka penyakit sosial, pemilihan teknik tersebut di satu sisi pengarang dapat berbicara secara leluasa dan bebas, sebagaimana bebasnya Semar dalam konteks wayang, dan ini sesuai dengan fungsinya sebagai seorang dewa. Dan di sisi lain, Putu pun dapat dengan leluasa menyuarakan jeritan-jeritan masyarakat kelas bawah akibat korban keangkuhan zaman, sesuai dengan fungsinya sebagai seorang batur yang selalu jadi bulan-bulanan majikan ala penguasa.
            Bertolak dari interpretasi tersebut kita dapat mengatakan bahwa novel Pol merupakan novel kritik sosial yang di dalamnya terdapat nasihat-nasihat adiluhung. Meskipun kritiknya disampaikan secara implisit, dampak dan bias-biasnya dapatlah kita rasakan karena apa yang diungkap dalam novel itu memang terjadi di sekitar kita. Oleh karena itu, novel Pol ini memiliki nilai lebih dibanding novel-novelnya terdahulu. Kalau dalam Telegram (1972) atau Stasiun (1977) Putu lebih asyik dengan manusia-manusia yang tak berciri realitas dan penuh halusinasi, dalam Pol Putu lebih menitikberatkan pada persoalan kemasyarakatan. Meskipun di sana sini masih tampak adanya aliran “bawah sadar”, tetapi “bawah sadar” yang melanda diri tokoh Aston hanyalah dipergunakan untuk menyambung kesadaran bertindak sesuai dengan peristiwa yang dihadapinya.
            Itulah keunikan novel Putu Wijaya yang mengangkat tokoh dunia pewayangan. Agar diperoleh gambaran lebih jelas, mari kita ikuti bagaimana peristiwa dan jalan ceritanya. Dalam novel ini Putu Wijaya sengaja memilih manusia kumuh, Aston, sebagai tokohnya. Ia adalah seorang yang hidupnya serba menderita, tak punya pekerjaan tetap, sementara sang istri, Warni, dan anaknya selalu menuntut dan merengek karena perutnya lapar. Karena konflik batin yang diakibatkan oleh pertentangan antara “perut lapar” dan “keadaan dirinya yang melarat” itulah, ia membuat sensasi unik yakni berkata bahwa ia telah bermimpi melihat Semar.
            Kemudian gemparlah seluruh penjuru kampung. Karena seluruh penduduk percaya bahwa Semar adalah semacam dewa yang membawa berkah, maka mereka (orang-orang kampung) berdatangan menemui Aston. Bahkan mereka berharap agar Aston mau bercerita apa saja yang telah dikatakan oleh Semar kepadanya. Nah, saat inilah Aston memulai perannya untuk mempengaruhi penduduk. Dan ternyata berhasil. Sejak saat itu, Aston mendapatkan berbagai bantuan berupa pangan, sandang, dan lainnya. Pendek kata, kehidupan Aston dan anak istrinya meningkat lebih baik.
            Namun, tak lama kemudian, Pak RT, Ayat (Hansip), dan Ceu Epon (pedagang beras) merasa kecewa dan takut atas kedatangan wartawan dan orang-orang asing (orang dari luar kampung itu) sebab orang-orang asing itu dianggap berbahaya. Mereka takut rahasia kampung yang sekian lama dipegang (yakni adanya penyelundupan narkotik dan monopoli beras) akan terbongkar. Karena itulah, Pak RT dan Hansip itu selalu menghalangi pertemuan orang asing itu dengan Aston. Nah, saat inilah Aston bingung dan tidak tahu harus bagaimana. Akibatnya, Aston berkata bahwa tidak pernah lagi bertemu dengan Semar. Dan karena tidak pernah ada lagi cerita tentang Semar, maka secara otomatis sumbangan dan bantuan dari orang lain pun macet. Akibatnya, keadaan Aston dan istrinya kembali seperti semula: Aston jadi penganggur dan Warni istrinya jadi tukang cuci.
            Demikian cerita singkat novel Pol karya Putu Wijaya. Meski sepintas kita dapat melihat bahwa novel ini sebagai potret orang kumuh/miskin, namun sesungguhnya di balik itu tersembul simbolisasi kritik atas keadaan masyarakat yang sakit. Putu menampilkan tokoh Semar sebagai unsur mimpi Aston hanyalah sebagai sarana pengungkap bahwa di kampung itu terdapat basis penyelundupan narkotik. Begitu juga di kampung itu terjadi penyelundupan beras yang dilakukan Ceu Epon (warga keturunan Cina).
            Kalau kita cermati lebih teliti, sebenarnya sumbangan-sumbangan dari warga yang diberikan kepada Aston hanyalah untuk menutupi agar si Semar (Aston) tidak membuka tabir (rahasia) yang selama ini dipegang oleh para punggawa kampung itu, yang terutama adalah Pak RT, Ayat, dan Ceu Epon. Tampaknya ketiga orang itu memang telah memiliki suatu organisasi kecil, yakni Pak RT berperan sebagai ujung tombak dan pelindung; Ceu Epon berperan sebagai pengusaha; Ayat sebagai keamanan; dan hidup mati mereka bergantung satu sama lain.
            Sebagai sastrawan kontemporer yang selalu melakukan eksperimen seperti halnya Iwan Simatupang, Danarto, dan Budi Darma, yang pada masa-masa selanjutnya juga dianut oleh beberapa pengarang muda, Putu Wijaya suka menjungkirbalikkan pikiran-pikiran waras dan tidak waras. Ia selalu menguak berbagai masalah yang membelenggu batin, kontra batin dan fisik, kontra situasi dan tuntutan, dan seterusnya. Dan tampaknya, Putu Wijaya akhir-akhir ini lebih realistis dalam memandang masyarakat dan segala liku-liku kehidupannya; seperti tersirat dalam novel ini bahwa ia ingin menghilangkan mitos "yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin" dan mengajak masyarakat untuk bersikap kritis. ***
                                                Pikiran Rakyat, September 1988

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Artikel Jurnal Internasional (4) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Artikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel