-->

Nilai-Nilai Islami Karya Fiksi Mohammad Diponegoro

           Mohammad Diponegoro tergolong sebagai salah seorang sastrawan muslim terkemuka Indonesia, selain A.A. Navis, Hamka, Taufiq Ismail, Abdul Hadi W.M., Djamil Suherman, dan Achmad Tohari. Sumbangannya bagi sastra Indonesia terbilang sudah cukup besar. Selain pintar menerjemahkan Alquran secara puitis, misalnya dalam Pekabaran (1977) dan Kabar Wigati dari Kerajaan (1985), ia juga menulis novel Siklus (1975), antologi cerpen Odah (1986), drama Iblis (1983) dan Surat pada Gubernur (thn …?). Tetapi, sayang sekali sastrawan kelahiran Yogyakarta, 28 Juni 1928, ini telah dipanggil Tuhan untuk selamanya (9 Mei 1982). Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, ada baiknya jika kita kaji kembali renik-renik Islami dalam beberapa karya fiksi yang telah dihasilkannya.
            Kelebihan Mohammad Diponegoro dalam menulis fiksi terletak pada kemahirannya memadukan kata-kata, imaji-imaji, simbol-simbol menjadi sebuah cerita yang padat dan mengesankan sehingga menyiratkan makna yang pekat, menimbulkan renungan yang dalam. Lagi pula, cerita itu penuh dengan suspense sehingga pembaca dibuat tak berkutik dan ingin cepat menyelesaikan bacaannya. Karena itulah, Taufiq Ismail memberi predikat kepadanya sebagai insinyur cerpen karena ia mampu merakit spare part yang terpisah-pisah menjadi sebuah bangunan baru yang terpadu yang sarat makna dan fungsional.
           Namun, satu hal yang jarang disinggung pada setiap pembicaraan karyanya adalah nilai-nilai Islami yang justru sangat dominan itu. Umumnya mereka sangat terpaku pada makna struktural dan pola-pola di dalamnya. Padahal, justru renik-renik Islami yang ada di sebaliknyalah yang mampu “merontokkan” batin kita. Sehingga kita dipaksa untuk bergumul dengan nuansa kemanusiaan yang religius dan religiositas. Bukankah kita senantiasa membutuhkan nuansa itu?
            Dalam karya fiksinya, pesan Islami secara implisit agaknya telah diolah dalam novel siklus (1975). Pesan Islami dalam novel ini terkesan amat dalam sehingga lebih dekat dengan makna religiositas. Hal inilah yang membedakan Mohammad Diponegoro dengan Hamka, Navis, atau Djamil Suherman, yang umumnya mereka menyampaikan pesan Islami secara vulgar. Misalnya, Djamil terlalu eksplisit mengedepankan dunia pesantren dan Navis agak eksklusif mengemukakan dunia perkiaian. Renik-renik makna demikianlah yang justru mampu membuat pembaca melakukan kajian ulang dan renungan.
             Lewat tokoh John Flechter, Susan Flechter, Amir, dan Darsono, pengarang mengajak kita untuk merenungi sebab-akibat antara iman dan tindakan sehari-hari. Melalui peristiwa, tokoh, setting, dan alurnya, setidaknya kita bisa menemukan empat pesan utama. Pesan itu ialah (1) perkawinan beda usia terlalu jauh akan membawa ketidakharmonisan, dan hal ini terjadi pada tokoh John dan Susan; (2) orang yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya akan menyebabkan kewajiban lainnya tidak beres; (3) betapapun inteleknya seseorang, jika tidak memiliki iman yang kuat, ia akan mudah terjerumus ke arah syirik, dan ini menimpa tokoh Amir yang memberhalakan azimat berupa kalung; dan (4) walaupun orang hanya sederhana, tetapi bila ia memiliki iman yang kuat, ia akan senantiasa bertindak konsekuen seperti tampak pada diri tokoh Darsono.
           Jika kita kaji ulang, masalah iman dalam novel ini memang hanya disampaikan secara “tertutup”. Karena itulah, nilai-nilainya justru hanya dapat dirasakan lewat tindakan sehari-hari, lewat getaran hati nurani, karena sifatnya yang amat religiositas. Kiranya memang tepatlah dalam novel ini pengarang mempertemukan dua hal penting, yakni azimat yang syirik dengan iman manusia. Harapan kita, dari pertemuan itu akan diperoleh “nilai baru” yang mengatasi segalanya. Agaknya nilai atau nuansa inilah yang hingga kini masih kita butuhkan; dan barangkali alasan ini yang menyebabkan novel tersebut memperoleh hadiah dalam sayembara mengarang roman pada Tahun Buku Internasional DKI Jakarta 1972.
          Kendati demikian, beberapa tahun kemudian, eksistensi Mohammad Diponegoro agaknya sedikit bergeser. Ini telihat jelas pada nuansa-nuansa cerpennya. Nilai Islami dalam beberapa cerpennya terkesan vulgar dan terlalu eksklusif. Walau kesan itu tidak mengurangi bobot sastra dan nilai Islaminya, namun ada kesan bahwa pembaca hanya disodori sesuatu yang “dogmatis” sehingga kurang mampu menimbulkan renungan-renungan karena pesan itu seolah sudah pasti berasal dari Kitab Suci.
          Hal tersebut, tampak jelas dalam cerpen “Kadis” (Horison, Juni 1984). Cerpen yang mendapat hadiah pada sayembara majalah Kartini (1980) ini mengisahkan tokoh Kadis yang setiap harinya hanya pergi mengaji tetapi di sisi lain ia lupa akan tugasnya dalam keluarga. Karena sikap Kadis demikian, istrinya (Dalijah) senantiasa protes terhadap suaminya yang tak pernah bekerja mencari uang. Yang lebih memprihatinkan, kepergian Kadis mengaji hanyalah semata untuk meminta-minta rezeki dari orang yang didatanginya. Hal inilah ynag membuat Haji Dhofir marah. Berkat kemarahan dan nasihat Haji Dhofir, akhirnya Kadis sadar, dan ia kemudian menjadi tukang sembelih binatang yang cukup sukses.
            Kevulgaran pesan Islami dalam cerpen tersebut tampak pada nasihat Haji Dhofir kepada Kadis. Ini bisa disamakan dengan nasihat pengarang kepada pembaca dan kita semua. Karena itulah kita seolah hanya mendengar “khotbah” tanpa kita harus merenungkannya. Pesan itu ialah “dalam hidup, manusia harus bisa menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat; selain bekerja seseorang juga harus beribadah, atau sebaliknya.” Renik-renik Islami demikian, agaknya juga kita temukan dalam cerpen “Alice” dan “Bubu Hantu”. Dua cerpen ini terkumpul dalam antologi Odah dan Cerita Lainnya (Shalahuddin Press, 1986).
             Lewat cerpen “Alice” pengarang mengajak kita (pembaca) untuk merenungi iman manusia dalam menghadapi hawa nafsu. Labih jelasnya, pesan utama cerpen ini ialah pada dasarnya manusia dituntut untuk selalu mematuhi perintah dan menjauhi larangan Tuhan. Jika manusia hanya menuruti hawa nafsu, ia akan menemukan ketidakberdayaan. Sementara, soal iman yang ditampilkan lebih dalam dan intens terlihat pada cerpen “Odah”. Lewat tokoh Odah pengarang mengajak pembaca untuk meyakini bahwa sesungguhnya Tuhan itu ada. Kita disodori suatu pernyataan bahwa selain dunia ini, masih ada dunia lain lagi, yakni “dunia” yang hanya diketahui dan dimiliki Tuhan.
             Nuansa Islami yang kental dan cukup membuat kita terenyuh kita dapati pada diri tokoh Kakek Jambali dalam cerpen “Persetujuan dengan Tuhan.” Tokoh ini mengadakan perjanjian dengan Tuhan, yakni akan mewujudkan cita-citanya membuat jembatan yang menghubungkan tebing satu dengan tebing lainnya. Anehnya, hal itu dilakukan sendiri; dan bahan-bahannya pun hanya berasal dari rotan dan akar tumbuhan. Perbuatan tokoh ini dimaksudkan sebagai balas budi, sebab dirinya pernah mengalami peristiwa tragis, yakni menantu dan anaknya tewas akibat jatuh ke jurang itu. Atas kejadian tragis itulah sang Kakek berjanji kepada Tuhan akan membuat jembatan agar nanti bisa bermanfaat bagi banyak orang.
            Sementara itu, masalah iman yang dimodifikasi dengan kekuatan gaib terlihat jelas dalam dua cerpennya, yaitu “Istri Sang Medium” dan “Bubu Hantu.” Tersirat dalam dua cerpen ini bahwa sebenarnya kekuatan gaib tidak datang dari siapapun kecuali dari Tuhan. Bagi manusia, kekuatan gaib seperti hantu, misalnya, memang menakutkan, namun jika manusia beriman kuat, pasti tidak akan takut kepada hantu. Hantu akan mudah diusir jika manusia selalu membaca ayat-ayat suci Alquran. Kejadian seperti inilah yang menunjukkan betapa besar kekuatan dan kekuasaan Tuhan atas makhluk apa pun.
           Satu hal agaknya pantas dicatat bahwa beberapa cerpen terakhir itu terkesan terlalu “menggurui” dan berupa “khotbah pengarang.” Namun, bagaimana pun nuansa religiusnya tetap kuat sehingga pembaca merasa “dituding” agar senantiasa memperbaiki iman dan tindakannya. Tapi realitas ini memang amat wajar, sebab walau Mohammad Diponegoro bukan seorang guru, tetapi karena ia seorang muslim yang taat, dalam segala tindakannya pun seolah mengajari orang lain. Walaupun, sesungguhnya dia sendiri tidak sadar dan tidak bermaksud untuk menggurui orang lain.
          Sebagai sastra Islam, karya-karya fiksi Mohammad Diponegoro mengandung dua dimensi, yaitu dimensi religius-agamis dan religius-otentik. Dimensi pertama lebih tampak formal, eksklusif, dan vulgar. Sementara dimensi kedua lebih tampak kental, intens, mampu membangkitkan renungan hidup lebih dalam, dan nilai serta nuansanya bisa dipahami lewat tindakan sehari-hari. Begitulah Mohammad Diponegoro, pengarang yang pantas menjadi teladan. Mungkin, “kelebihan” Mohammad Diponegoro akan menjadi lebih jelas jika kita lebih intens mengaitkannya dengan profesinya sebagai sastrawan, agamawan, dan teaterawan. Namun sayang, ia kini telah pergi meninggalkan kita.***
Pelita, 30 Juni 1991

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Artikel Jurnal Internasional (4) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Artikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel